Rabu, 23 April 2014

"Dosa Yang Ke-100"



“Oh, Pujangga dari Timur, ke mana kah harus kuadukan dosa yang kulakukan?”



“Aku seorang nestapa yang tidak lagi mampu berjalan.”


“Oh, Penyair dari Barat, ke mana kah harus kuceritakan noda yang kuperbuat?”


“Aku seorang pandir yang bahkan tidak bisa merangkak.”


“Oh, arah angin yang berputar, sampaikan penderitaan ini kepada penguasa alam raya.”



Setelah teriak di atas tebing, pria itu kemudian berlutut. Rambutnya yang panjang, dibiarkan dipermainkan angin. Tubuhnya yang penuh dengan peluh, berkilauan diterpa cahaya bulan. Tidak ada lagi suara setelah dia tertunduk lesu, melainkan hanya angin malam yang berdesir dan lamat-lamat terdengar nyanyian binatang malam. Dia bertelanjang dada sebagai keyakinannya untuk lepas dari dosa dan noda. Hanya kain berwarna hitam selutut yang dikenakan untuk menutup auratnya. Hanya sebatas melepas pakaian, dia pun merasa sudah sedikit bebas dari begitu banyak beban yang menghimpit. Dia yakin dosa itu disebabkan pakaian hitam yang selama ini dikenakannya.


Pria ini adalah pembunuh yang tidak tahu jalan pulang. Sudah 99 orang yang dikirimnya ke alam baka. Mereka meregang nyawa oleh tangannya yang berlumuran darah. Sebilah pedang digunakan untuk memenggal mereka yang tidak disukainya. Semua ceceran darah korban dilap dengan lidahnya yang merah. Hingga suatu hari:


“Ingat Tuhanmu. Ingat hari pembalasan.”


Seorang wanita tua yang telah bercucuran darah menyampaikan kalimat terakhir. Sebelum akhirnya meregang nyawa, wanita itu sempat menatap Sang Pembunuh dengan tajam. Namun, matanya kemudian meredup seiring lepasnya nyawa dari raga.


Rupanya, ucapan wanita itu menggedor nurani yang telah lama terkunci rapat. Sang Jagal terkesiap. Pedangnya lepas dari genggaman. Ada sekelebat rasa cinta lewat di hatinya yang telah hitam. Sekeping kasih yang telah hilang di masa lampau, kembali terbersit di dalam dadanya. Tuhan dan Hari Pembalasan menjadi petir menggelegar dan mampu membangkitkan sejumput benih-benih kemanusiaan di dalam kalbunya.


Dia kemudian berlari meninggalkan jasad wanita malang yang menjadi korban ke-99. Tidak terasa, ada genangan air yang mengalir dari pelupuk matanya. Dia ingat dengan wanita yang pernah melahirkannya. Kala itu, wanita yang pernah membelainya dengan cinta, dibunuh oleh perampok berwajah sedih. Tebasan pedang yang diayunkan dari atas, memisahkan batang leher dari tubuh wanita renta tersebut. Kenangan itu membekas dalam alam bawah sadar Sang Pembunuh. Dia pun tumbuh menjadi pria bengis yang tidak kenal cinta dan kasih. Dia menggunakan pedang untuk menghabisi seluruh korbannya, sama dengan perampok berwajah sedih yang menghabisi nyawa ibundanya.


Sang pembunuh masih tertunduk. Lolongan serigala malam tidak digubrisnya. Dia menanti jawaban langit yang diyakininya datang dari Sang Penguasa alam raya. Sudah lebih dari sepertiga malam, dia hanya tertunduk. Malam yang kelam itu menjadi saksi baginya, untuk menghapus dosa dan noda.


***


Sang Pembunuh menelusuri jalan kecil menuju Lembah Harapan. Dia melangkah dengan penuh kepastian. Ada asa yang hendak diraih, yakni ampunan dari Sang Penguasa alam raya. Dorongan yang begitu kuat menyebabkan kedua kakinya yang melangkah, dirasakan tidak cukup. Dia membutuhkan seribu kaki agar bisa melesat dan sampai ke lembah itu dengan cepat. Semalam, dia mendapat bisikan yang hanya terlintas di dalam hati. Dia yakin, teriakannya di atas tebing, dijawab oleh Sang Penguasa.


“Pergilah ke Lembah Harapan. Engkau akan menemukan jawaban.”


Begitu bisikan yang mengalir di dalam darahnya. Tiba-tiba, ada energi yang melesak. Sel-sel di dalam tubuhnya kembali berkembang dan bekerja penuh semangat. Aliran darah yang dipompa kencang, dengan satu tujuan, yakni menuju ampunan Sang Penguasa alam raya.


Hamparan rumput tinggi hijau yang membentang, menghentikan langkah Sang Pembunuh. Matanya nanar ke sekeliling memperhatikan padang savana yang indah. Tidak ada yang tampak kecuali gubuk tidak jauh dari hadapannya. Sebuah tempat yang ditinggali oleh Sang Penyampai Kebenaran. Atapnya rumbia, dan dindingnya pelepah pohon nira.


“Aku ke mari karena mendapat bisikan gaib,” ujar Sang Pembunuh ketika tiba di pintu gubuk.


Seorang kakek berjubah putih duduk bersila memainkan tasbih di tangannya. Dia tidak menyahut. Matanya terpejam, sementara mulutnya tidak berhenti membisikkan pengagungan untuk Sang Penguasa alam raya.


“Aku ke mari atas bisikan gaib,” sahut Sang Pembunuh sekali lagi.


Kakek berjubah putih itu tetap asyik dengan tasbihnya. Dia tidak memperdulikan tamu yang ada di depan rumahnya. Matanya tetap tidak membuka. Dia memilih asyik memuji Sang Penguasa alam raya ketimbang menjawab Sang Pembunuh.


“Kakek berjubah putih, Aku kemari lantaran mendapat bisikan gaib di atas tebing tadi malam. Apa yang harus kulakukan sekarang?”


Setelah tiga kali disapa, Sang Penyampai Kebenaran merasa terusik. Upayanya untuk tidak bergeming, sirna. Matanya membuka perlahan-lahan.


“Tidak pantas bagi seorang pembunuh sepertimu mengganggu diriku. Aku tengah memuji Sang Penguasa. Tidak ada yang bisa kau lakukan. Neraka adalah tempat tinggalmu kelak,” kata Kakek Berjubah Putih itu.


“Apakah tidak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri?” Tanya Sang Pembunuh.


“Tidak ada. Dosamu sudah terlalu besar. Balasan yang layak kau terima adalah kekal di neraka selama-lamanya.”


“Lalu bagaimana dengan janji Sang Penguasa alam raya yang Maha Pengampun?”


“Tidak mungkin. Engkau telah membunuh 99 orang tak berdosa.”


Sang Pembunuh tertunduk lunglai. Dia merasa kehilangan pegangan. Harapannya untuk memperbaiki diri sirna. Asanya tercerabut dari lubuk paling dasar kalbunya. Dia merasa sia-sia menempuh perjalanan panjang ini. Jika Sang Penyampai Kebenaran saja mengatakan demikian, maka apa lagi yang bisa dilakukannya. Maka terbersit amarah di wajahnya, untuk membunuh Kakek Berjubah Putih itu. Baginya, dengan membunuh genap seratus orang, maka sudah terpenuhi kepuasan dari sisi liar jiwanya.


“Aku akan penggal lehermu, orang tua,” katanya dengan setengah berteriak.


Tak lama kemudian, pedang yang ada di pinggangnya berkelebat memutus leher Sang Penyampai Kebenaran. Kepalanya tergeletak ke tanah. Darah segar membuncah dari tubuhnya yang menggelepar. Sang Pembunuh menginjak kepala Kakek tersebut seraya menandaskan:


“Aku adalah Sang Pembunuh yang tidak kenal cinta dan kasih. Ketahuilah, Engkau adalah korban yang keseratus.”


Matanya berapi, napasnya memburu dan dadanya terguncang. Sang Pembunuh kemudian meninggalkan gubuk yang berada di Lembah Harapan.


***


“Sang Penguasa alam raya, Aku telah membunuh seratus orang. Aku adalah pembunuh. Aku pembunuh,” teriak Sang Pembunuh di atas tebing.


“Mana janji-Mu yang Maha Pengampun itu. Mana?” Dia kembali berteriak sekencang-kencangnya.


“Aku adalah Pembunuh. Aku akan membunuh hamba-hambaMu lebih banyak lagi.”


Sang Pembunuh tersengal-sengal. Dia lelah dengan harapan yang sirna. Tidak ada air mata dan penyesalan. Sepenuh jiwanya dipenuhi angkara murka. Dia kecewa kepada Sang Penguasa alam raya. Setelah lelah berteriak, Sang Pembunuh duduk bersimpuh. Kedua tangannya memegang lutut. Matanya nanar menatap tanah yang kering.


Tiba-tiba halilintar menggelegar. Tiga kali bunyi yang menakutkan itu memecah angkasa. Sang Pembunuh kaget bukan kepalang. Ada rasa ngeri di hatinya mendengar halilintar sekeras itu. Rasanya belum pernah dia mendapatkan petir di siang hari dengan keras seperti yang baru didengarnya. Tidak lama kemudian muncul asap yang membumbung ke udara di balik pohon. Sang Pembunuh bergetar menyaksikan asap yang kemudian berubah menjadi sosok manusia.


“Si…siapa kamu,” ujar Sang Pembunuh dengan terbata-bata.


“Jangan takut. Aku adalah utusan Sang Penguasa alam raya,” ujar sosok manusia tersebut. Kulitnya putih dan wajahnya indah. Dia pria yang mengenakan pakaian panjang berwarna jingga. Dia berjalan perlahan ke Sang Pembunuh.


“Sang Penguasa mendengar semua harapanmu. Jangan Engkau putus dari rahmatNya. Tetaplah mencari cara yang terbaik untuk mendapat ampunanNya,” ujar pria berwajah indah tersebut.


“Tapi aku telah membunuh seratus orang tak berdosa.”


“Tidak peduli seberapa dosaMu. Selama hidupmu belum berakhir, tetaplah berusaha.”


“Apa yang harus kulakukan sekarang?”


“Pergilah ke utara. Engkau akan mendapatkan semua harapanmu.” Setelah berkata demikian, sosok manusia itu kemudian kembali menjadi asap dan sirna bersamaan hembusan angin yang tiba-tiba mendesir di sekeliling.


“Terimakasih Sang Penguasa. Engkau tidak melupakanku. Aku akan ikuti perintahMu menuju utara,” bisik Sang Pembunuh.


Dia pun bergegas meninggalkan tempat untuk mencari ampunanNya.


***


Arah utara ternyata jalan yang penuh terjal dan berliku. Sang Pembunuh harus mengerahkan tenaganya untuk mencapai harapan. Dia bertekad untuk tidak berhenti sebelum ampunanNya diraih. Dia yakin Sang Penguasa alam raya tidak akan meninggalkan dirinya. Apalagi setelah kejadian kemarin, dia mendapat dorongan energi untuk senantiasa tidak lepas dari rahmatNya.


“Aku tidak boleh menyerah. Meski jalan yang kulalui penuh rintangan,” bisik Sang Pembunuh.


Dia lalu memanjat tebing yang curam. Tebing yang penuh dengan batu-batu tajam. Jika dia salah menginjak dan terpeleset, maka bisa dipastikan tubuhnya akan robek dengan batu-batu cadas yang runcing.


“Tunggu aku Sang Penguasa alam raya. Aku akan menggapai ampunanMu. Aku akan tunaikan harapanku. Sekali lagi tunggu aku,” ujar Sang Pembunuh.


Namun secara tidak sengaja, batu yang dia pegang pecah. Seketika itu, bebatuan yang dipijaknya tidak kuat menahan beban tubuhnya. Sang Pembunuh pun terperosok dari ketinggian tebing. Kepalanya membentur batu cadas yang ada di bawahnya. Kepalanya pecah. Dari rongga panca indera di kepalanya mengeluarkan darah. Dia meninggal dunia saat itu juga.


Dari langit, dua malaikat turun ke tempat jatuhnya Sang Pembunuh. Malaikat penjaga surga dan neraka berebut atas ruh Sang Pembunuh. Masing-masing merasa berhak untuk menjemputnya.


“Dia telah menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk menggapai ampunanNya. Dia berhak dibalas dengan kebaikan,” ujar malaikat penjaga surga.


“Tidak, dia belum sepenuhnya bertobat. Dosanya tidak diampuni. Ingat, sudah seratus orang tidak bersalah tewas di tangannya,” timpal malaikat satunya.


Dari langit, tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar.


“Hitung jarak tempuh yang sudah dilaluinya. Jika dekat dengan tujuan, maka surga balasannya, jika tidak maka neraka tempat tinggalnya.”


Kedua malaikat itu pun sibuk mengukur jarak tempuh yang sudah dilalui Sang Pembunuh. Meski belum lama Sang Pembunuh meninggalkan tebing tempatnya bersimpuh, ternyata jarak menuju utara sudah lebih dekat. Malaikat penjaga surga pun kemudian menjemput ruh Sang Pembunuh untuk mengantarnya di tempat terindah selama-lamanya. (*)

Untuk kita para pendosa, Harapan akan selalu ada.


"Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas kepada diri sendiri. Janganlah kamu berputus asa daripada rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa. Sugguh Dialah yang Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang" QS. Az-Zumar: 53

Referensi: 
  1. Fadilzein
  2. Blogger.com
  3. Kitab Suci Al-Qur'an

Senin, 14 April 2014

"Monolog Kecil Perjalan"


Bandar Lampung. Feb, 7th 2014. 10:04 WIB

Semua barang sudah dikemas.
Pakaian pun sudah masuk dalam tas.
Tak mampu membendung akan rasa puas.
Kami pun cepat saja untuk bergegas.

Dua orang manusia-Aku dan seorang teman satu Institusi akan mengunjungi sebuah tempat yang terletak jauh di sebelah timur pulau Jawa. “Kampung Inggris” namanya. Mungkin semua orang berfikir pada satu titik kesimpulan. “Kampung”-Pemandangan alam yang indah, derasnya suara aliran sungai yang mengalir, atau bahkan suara decitan burung-burung yang menyambut hangatnya suasana di pagi hari. “Inggris”-dimana banyak tersebar manusia-manusia asing yang disebut-sebut sebagai londo bermukim di tempat tersebut untuk mengajarkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar kepada berbagai warga pendatang dari seluruh Indonesia.

Sebuah persepsi memang hanya ada dalam jati diri. Realita pun kini tak sebanding dengan ekspektasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa hal semacam itu memang jarang sekali ditemukan di zaman ini. Sebuah institusi ternama pun sudah mulai membangun suatu kemajuan yang dapat terbilang signifikan untuk sebuah tempat wisata berbasis edukasi.

Larut dalam sebuah perjalanan. Berawal dengan Bus Ekonomi yang sejak tadi telah berjejer rapi menunggu kedatangan kedua orang laki-laki yang akan menuju sebuah pelabuhan besar yang terletak di penghujung pulau Sumatera. Berbekal tekad, niat, dan pengetahuan yang minim akan sebuah perjalanan, mereka paksakan untuk tetap melanjutkan perjalanan.

30 menit sudah bus itu berjalan-kadang melambat, kadang dipercepat. Dan kini ku tak kuat lagi untuk menahan rasa kantuk. Lalu kedua mata pun perlahan-lahan mulai terkatup. Deru mesin yang semula bising pun kini hanya terdengar sayup-sayup.

12.30 bus berhenti. Menandakan berakhirnya sebuah perhentian untuk sebuah perjalanan menuju pelabuhan Bakauheni. Tepat di depan mata, berdiri sebuah kedai dengan beragam hidangan yang mampu memanjakan mata-menarik, mengajak untuk bersinggah sekedar untuk melepas lelah. Tanpa berkompromi, kami hampiri saja dengan senang hati.

Cress…
Suara korek api mulai menyulut sebuah batang. Batang yang sering diisap oleh kalangan para bujang. Tak lama kemudian kepulan asap mulai memenuhi ruangan, dan kami pun mulai menikmati isapan demi isapan.

Berlanjut dalam sebuah perjalanan. Suasana malam kali ini terasa sangat dingin, lebih dingin dari malam-malam biasanya. Angin laut yang berhembus dari selat sunda, mengantarkan rinai hujan yang menerpa muka. Membilas, membasuh wajah kedua insan yang terasa lelah akan beban berat yang dipikul di kedua bahu hingga saat ini.

Kawan…
Jangan kau lemah, dan jangan menyerah.
Mungkin esok hari akan lebih cerah.
Karena ini baru hari pertama.
Bukan akhir dari perjalanan kita
***
February, 8th 2014
Tubuh ini masih mencari-belum menemukan tempat yang tepat untuk melepas rasa lelah dan gelisah. Di pesisir pelabuhan dekat rumah penduduk kota, berdiri sebuah surau. Mungkin menjadi tempat persinggahan yang tepat untuk melakukan peristirahatan sementara.

Air sudah membasuh wajah sejak tadi. Suara adzan mulai menggema-mengalahkan bisingnya deru suara mesin dan klakson kapal-kapal di laut samudera. Lalu merdeka!

Satu jam sudah terasa sangat cukup untuk memulihkan tenaga yang terkuras selama beberapa jam yang telah dihabiskan sebelumnya. Destinasi selanjutnya kini menuju sebuah stasiun kereta di tengah Ibu kota Jakarta. Penat, bosan, dan jenuh yang dirasakan selama 14 jam perjalanan duduk diatas kuda besi, terbayar dengan suguhan pemandangan alam menakjubkan. Padi yang terhampar sepanjang jalan-mulai merunduk dan menguning, gunung dan bukit hijau pun juga tak kalah mengkokohkan dirinya.

“Cuci mata cuk?”   seorang teman berkata menirukan logat Jawa Timur yang khas.

Lalu kubalas dengan senyum tipis.
Ternyata bukan hanya aku yang menikmati pemandangan indah ini. Mungkin segelintir orang di kereta ini pun ikut menikmati anugerah dari-Nya.

***

February, 9th 2014
Semua rasa telah terbalaskan..
Semua beban telah terbebaskan..

Pukul 3:12 pagi, tepat kedua kaki telah berpijak di sebuah kota di timur pulau Jawa. Singgah sejenak di sebuah kedai dekat alun-alun kota untuk menikmati dinginnya malam di kota Kediri bersama hangatnya secangkir kopi. Berbagi canda dan tawa walau lelah terasa, bersama seorang teman yang setia menemani kemana langkah kaki akan membawa.

Perjalanan panjang dua hari dua malam kini terhenti pada sebuah institusi. Cukup menarik, tepat di depannya tertulis “Spesialis Terapi Ngomong Inggris + Pendongkrak PD” terlihat disekelilingnya pun berjajar institusi-institusi lain yang menawarkan jasa yang sama, dengan metode yang berbeda.

Dimanakah gunung-gunung yang terhampar luas? Dimanakah aliran sungai yang mengalir deras? Dimanakah suara burung-burung yang mencicit keras, menyambut akan datangnya pagi hari dikampung ini? Dimanakah? Dimanakah kalian berada?

Kembali, sebuah persepsi memang hanya ada dalam jati diri. Realita pun kini tak sebanding dengan ekspektasi. Ekspektasi yang sangat kami idam-idamkan untuk menjauh dari suasana penatnya kota, mencari suasana berbeda, menghirup udara yang belum tercemar oleh pekerjaan manusia. Semuanya kini pupus lah sudah.

Sedikit kecewa, mencoba untuk berlapang dada, namun apa lah daya, manusia yang tak bisa berbuat apa-apa. Tapi tak apa, kucoba untuk percaya dengan semua kejadian yang ada. Karena setiap kejadian pasti ada tujuan dari-Nya.

***

Camp 4. Sebuah penginapan yang disuguhkan institusi ini. Disebut juga sebagai jungle camp karena letaknya yang cukup dekat dengan hutan. Yah, tak apa, setidaknya ekspektasi akan alam sedikit terpenuhi dari tempat ini.





Tepat didepan gerbang, tertera tulisan yang menyambut dengan hangat. “Welcome To Jungle Studio, Girls Only” seketika fikiran dibenak bergejolak. “apakah ini penginapan untuk perempuan? Sedangkan kami ini…” tak lama kami mematung, seorang pria cukup dewasa menegur, tersenyum, dan mempersilahkan kami untuk segera masuk kedalam kamar yang telah tersedia. Pria itu  adalah seorang tutor yang memang bertugas di camp.

Huffttt… ternyata….

Di kamar itu sudah ada seorang pria yang tertidur pulas. Pria dewasa tadi mencoba mebangunkan, dan mencoba memperkenalkan kami dengannya.

“Gobel…” ujarnya.

Gobel? Nama yang cukup asing dan aneh terdengar di telinga. Satu jam berlalu, dan aku pun cukup mengenalinya. Seorang dancer yang datang dari Ibukota, dan kuliah dibidang perhotelan di daerah Jakarta.

Tak lama dari itu seluruh penghuni hutan (Baca: Camp 4) telah kembali menuju selter.



Muhammad Khahar, pria kecil berbaju putih (kanan). Datang dari Makassar bersama kedua orang temannya, Syahrul (pria berkacamata dengan kaos polo-shirt bergaris vertikal) dan Afdal (Pria berbaju putih memegang pundak seorang pria berbaju garis hitam-putih horizontal) sangat mencintai kepercayaan yang dipeluknya, ingin menjadi seorang tentara untuk masa depannya, lalu berjihad dijalan-Nya. Itu yang dikatakan olehnya.

Kemudian, seorang pria cukup matang (berkemeja biru muda), bernama Andi Hendrawan. Tak ingin dipanggil Andi atau Hendra. “Just call me Ade” katanya. Datang dari Jakarta dan mempunyai cita-cita untuk pergi ke Negara teromantis, Perancis.
Imam (Pria berbaju putih dengan tangan dikepal, berdiri tepat disebelah kiri Ade) tak tahu asal-usulnya. Nyaman diajak untuk menjadi lawan bicara, sehingga mungkin aku tak sempat bertanya tentang aslnya.

Lalu Fajar (Pria berjaket hitam, berlist merah), Mahasiswa asal Balikpapan, tinggal di Malang untuk melanjutkan study-nya. Pria yang mempunyai selera humor cukup baik. Selalu menyinggung bahwa Gobel adalah adiknya Dipo.

Selanjutnya Habib (Pria berkacamata tepat berdiri diantara Afdal dan Fajar) adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Akutansi Negara, berasal dari tanah Sumatera Utara. Datang dari Medan menuju Pare untuk dapat menguasai bahasa Inggris, karena ia berharap kelak dapat menjadi ahli perpajakan dunia.

Afdal alias Afdhol alias Af, datang dari Makassar bersama khahar dan Syahrul Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris datang dari ranah Sulawesi untuk meningkatkan kemampuan berbahasa inggrisnya. Suatu saat dia akan menjadi seorang guru Bahasa Inggris untuk anak didiknya.

Farizky Mulyawarman as Abang Rizky. Pria bertubuh subur, datang dari ranah Ibukota, Jakarta, seorang asisten dosen yang mengajar di bidang perhotelan. Tak tahu akan menjadi apa, Multi-talented tepatnya. sangat tepat bila ia menjadi seorang koki handal untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya yang subur luar biasa.

Hafif as Apip (Pria berbaju hitam, berdiri tepat disebelah bang Rizky), Pria berkulit sawo matang yang tak kalah suburnya dengan Farizky Mulyawarman.  Mahasiswa Universitas Malang semester 4.

Syahrul (pria berkacamata dengan kaos polo-shirt bergaris vertikal) sangat bersahabat ketika berbicara menggunakan aksen khas timurnya. Merupakan Mahasiswa Universitas Negeri Islam Sulawesi yang gemar sekali mengambil objek dengan kamera pocket yang selalu menggelayuti tangan kanannya.

Dasa Septi Angga (Pria berbaju biru, kiri) terlahir di kota Liwa, Lampung Barat. Seorang mahasiswa Sastra Inggris, bersama temannya menuju Kampung Inggris untuk menikmati pemandangan alam nan-romantis. Kadang fikirannya skeptis, kadang teorinya optimis. Seorang sahabat, tempat dimana pandangan-pandangan berbeda bertemu, bepadu menjadi satu.

Selanjutnya Irwan, mahasiswa kota kembang, datang dari jawa bagian barat bersama temannya Rusyad-Manusia paling kocak di Jungle Camp.

Seviko Yolanda (Pria berbaju hitam dengan tangan kiri yang menyimbolkan metalisme) Mahasiswa dalam bidang minyak dan gas bumi Universitas Negeri Bandung. Usutnya, Seviko atau yang sering dipanggil Yolan ternyata berasal dari ranah Lampung pula.

Last but not least, Nori (Pria berbaju hitam-duduk) seorang calon pelaut. Suatu saat nanti akan mengarungi samudera dengan pelaut lain dari berbagai belahan dunia. Itulah mimpinya!



This is Us! Jungle Camp

Wajah-wajah baru yang datang dari berbagai belahan penjuru kota, berbagai suku dan ras yang berbeda. Dipersatukan untuk menjadi sebuah keluarga. Keluarga yang baru saja mulai dibina.

***

Ghozali as Godzilla, tutor asal kota Bogor. Mereka biasa memanggilnya dengan sebutan Uncle Goji, sebab banyak orang memanggilnya dengan om. Dikarenakan om dalam bahasa inggris adalah Uncle, maka ia dipanggil dengan Uncle Gojira atau disingkat Uncle Goji. Wajah datar tanpa ekspresi dan rambut ikal yang terurai bak tentakel gurita yang membuatnya dikenang banyak orang.








Missty as Dora, tutor asal kota Tenggarong, Kalimantan. Suatu saat akan menjadi guru di kota asalnya. Seseorang yang cukup bisa beradaptasi dengan cepat dengan para member karena jiwa sosialnya yang cukup tinggi. Mempunyai banyak rahasia yang belum orang ketahui. apa itu? Hanya dia yang tahu.










Arta Harta Semesta as Sista, tutor asal kota Bandung, lulus dari desain grafis dan menjadi tutor di kota Pare, Tutor cerewet yang selalu memberikan motivasi sarkastik untuk para membernya agar lebih bersemangat dalam meraih mimpi mereka. 
“Chicken Run!”








***

February, 24th 2014

Setelah dua minggu dilewati, canda, tawa, pun kesedihan serta kekhawatiran yang melanda akibat membuncahnya Gunung Kelud di daerah jawa. Semuanya terlalu cepat berlalu, terlalu cepat perjumpaan yang berakhir, terlalu cepat untuk saling menyelami, sungguh… terlalu cepat ini semua.

Kami harus kembali ke daerah asal masing-masing, kembali menjalani rutinitas seperti biasa, mengerjakan sekelumit urusan dunia yang tiada habisnya. Memang sebenarnya Kampung Inggris sama sekali tidak seperti yang kami harapkan. Terkadang sesuatu yang belum diharapkan justru lebih indah dari yang diharapkan.


“Don’t You Give Up, Keep Your Chin Up, and Keep in Touch Guys!” 
Tetap semangat untuk meraih mimpi-mimpi kalian!


Dream Board




Photo Collections:


Sepeda Sewaan 

 Bang Rizky Vs Fajar

 Team Futsal Jungle Camp

 Pagi Hari Pasca Kelud

 Suasana Jalan Brawijaya Pasca Kelud

 Maling Sendal!

 Asisten Rumah Tangga Jungle Camp

 Farewell Party Preparation

Farewell Party!

Makan Besar!

Nikita's Birthday!

Habis Main Dedek Bayi!

Farewell Photo (Tic-Talk)

Farewell Photo (Go Go Talk) 1

 Farewell Photo (Go Go Talk) 2

Farewell Photo (Speak Up 2)

Pageviews

BisikanAlamRaya@2014. Diberdayakan oleh Blogger.