Minggu, 20 September 2015

"PAGI ITU SEDIKIT BERBEDA"

“A Journey To the West”


Pagi itu sedikit berbeda, tak seperti biasanya. Sinar mentari yang mulai menembus melalui celah-celah mulai membakar kayu-kayu yang memondasikan rumah panggung. Aroma kayu jati mulai terasa, terhirup melalui hidung.  Ketika kedua mata terbuka, rasa gigil mulai merasuki kedua pasang kaki yang dari semalam sudah terselimuti selimut yang cukup terbilang  tebal. Tersadar, ternyata diri ini tidak sedang berada di rumah. Kemarin malam, aku baru saja sampai di sebuah perkampungan sebelah barat provinsi Lampung. Suasana pagi yang begitu berbeda membuatnya lebih nyaman untuk menarik selimut lebih tinggi ketimbang melakukan aktivitas di pagi hari.


Pukul 10:00, aku mulai beranjak dari tempat tidur. Air mulai membasuh wajah, air yang bening dan terasa lebih dingin membuat bulu kuduk mulai berdiri. Ku buka jendela pintu dekat beranda sekedar untuk mempersilahkan angin menderu wajah, membiarkan mentari menghangatkan suasana. Sebatang lisong dan secangkir kopi hitam yang pekat hadir menemaniku duduk di depan beranda rumah. Aku dapat mendengar beberapa cicitan burung, dan deru angin yang memanjakan pepohonan untuk menari. Sungguh! suasana yang tak mungkin dapat ditemukan dikota.


Abu lisong tercecer di lantai, sangat berantakan. Seakan-akan sosok Bapak baru saja duduk menemani tepat disebelah kursi kosong itu. Mengusap rambutku dengan jemarinya yang halus dan dingin, mukanya tampak pucat, rambutnya mulai memutih. Bapak berbicara tentang Tuhan dan keluarga yang ditinggalinya. Bapak telah pergi meninggalkan kami tujuh tahun yang lalu. Bapak mengidap penyakit stroke yang sudah akut. Harta benda telah habis terjual demi menyembuhkan penyakit bapak. Tak sepeserpun warisan yang ia tinggali untuk keluarganya, hanya buku-buku tentang agama dan kepercayaan yang ia wariskan kepada anak-anaknya. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan dan kekecewaan yang berarti.

“Carilah Tuhanmu dan Bahagiakanlah keluarga kita, nak....”

Tubuhku menyerap hangatnya sinar mentari pagi ini, perlahan mengeringkan bulir-bulir air yang jatuh membasahi pipi. Oh mentari... Mentari yang sama di pagi itu ketika bapak menutup kedua mata dan menghembuskan nafas terakhirnya.

***

Di kursi tua di diberanda rumah, seperti biasa aku mempunyai kebiasaan membiarkan tubuhku tersengat matahari pagi, dokter menganjurkan agar aku merutinkan diri untuk berjemur saat pagi hari demi menyembuhkan dari gejala kelumpuhan yang ku derita selama lebih dari 3 tahun belakangan ini. Aku sudah tak bisa lagi mencari nafkah, jalan pun harus dituntun.

Waktu itu aku ingat sekali, wajahku pucat menatap langit, lalu kemudian mulai memerah akibat sengatan matahari.
Aku berkata pada anak bungsuku....

“....Seperti roda, selalu berputar.. terkadang berada di atas, terkadang berada dibawah. Tapi untuk menggerakan sebuah roda itu membutuhkan usaha...”

Aku tersenyum padanya.. saat itu dia masih berumur 10, mungkin dia tak mengerti apa arti dari kata-kataku barusan.

***

Diberanda rumah ini, aku kembali mengulang kata-kata yang disampaikannya, aku mulai mengerti apa arti dari kata-kata itu, bahwa hidup manusia itu layaknya sebuah roda, ketika suatu sisi roda berada dibawah untuk merubahnya menjadi keatas harus membutuhkan sebuah usaha. Begitu juga dengan kehidupan, ketika merasa terpuruk salah satu cara untuk bangkit adalah berikhtiar.

Aku jadi teringat masa ketika keluarga kami sempat merasakan pahitnya hidup karena tak ada lagi biaya yang cukup untuk bertahan. Seorang Ibu yang memikul beban keluarga menjadi tulang punggung, berjuang sendirian untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi, dan seorang anak pertamanya yang membantu meringankan sedikit beban.

Aku tak begitu ingat bagaimana ceritanya. Maka  kuikuti dan kujalani saja kemana alur waktu membawa. Hingga aku telah berdiam sendiri diberanda rumah ini. Mengingat,  menikmati berkah dari-Nya.

Aku tersadar dari lamunanku, entah karena udara yang terlalu dingin atau gejala keterkejutanku dengan sosok mendiang bapak barusan. Seraya mengucap tahmid, aku membereskan abu lisong yang makin tercecer, tersapu oleh angin.

Suara adzan mulai berkumandang tanda waktu memasuki shalat ashar, tampak beberapa orang dengan pakaian putih bersih dan bersorban lengkap memasuki masjid tua yang masih begitu megah. Konon katanya masjid itu sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Ku mulai membasuh wajah lesu dengan air bening itu. Entah mengapa peribadatan kali ini sungguh membuatku tak nyaman. Aku merasa asing untuk berada disini ditengah para orang-orang yang sangat khidmat melakukan aktivitas pendekatan dirinya dengan Tuhan. Kulihat beberapa diantaranya menangis, seraya menengadahkan kedua tangan layaknya orang yang hina. Pemandangan kali ini sangat jarang kutemukan di sana, di kota tempat aku tinggal.

“Apa dosa yang telah mereka perbuat hingga mereka begitu tersedu menangisinya??”

Lamunanku terbuyar ketika suara yang tampak tak begitu asing menyapaku.

“Adzar... Apa kabar? Sedang berkunjung disini?”

Sosok paruh baya berjubah putih, lengkap dengan sorbannya muncul dari arah belakang. Kulihat senyum bapak itu terlukis diantara kulitnya yang sudah tak lagi kencang.

“Pak Anton... kawan ayahmu dulu..”

Terdiam sejenak, mencoba mengingat kembali nama orang yang sekarang sudah duduk berada tepat disampingku. “Pak Anton...” , siapa yang tak kenal dia, pengusaha muda kaya yang tinggal di kota, usahanya dimana-mana, rumah mewah dan lusinan mobil terparkir di halaman rumahnya.

“Iya pak, Adzar meyempatkan waktu untuk berkunjung  kesini, kuliah sedang libur”

“Wah.. Sudah besar ya sekarang... Bagaimana kabar keluarga, sehat?

“Alhamdullilah pak.. Ibu dan keluarga dirumah masih diberi kesehatan”

Matahari masih meninggi, satu persatu orang-orang mulai meninggalkan masjid, beberapa darinya masih ada yang memilih untuk berdiam. keadaan disini memang begitu menentramkan, ditambah dengan dinginnya angin yang masuk melewati pintu-pintu.

Pak anton mempersilahkan untuk bersilaturahmi kerumahnya, sekedar untuk menjamu tamu yang datang jauh dari kota. Setiba di depan rumahnya, kembali aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan. Rumah yang terbilang sederhana dan sebuah motor Honda tua terparkir didepannya.

“...Apa benar ini rumah beliau? Kemana semua hartanya? Mengapa beliau sekarang berpenampilan sangat berbeda? Berpenampilan sederhana. Mobil yang dulu berjejer di pekarangan, kini hanya ada motor tua di depan rumahnya. Apa yang telah dialaminya?? Ah entahlah...”

Pak Anton memanggil istrinya, memperkenalkannya pada anak muda yang sudah duduk di ruang tengah beberapa menit yang lalu. Pak anton meminta untuk dibuatkan dua gelas kopi hitam. Tak selang beberapa lama dua gelas kopi hitam pekat ditambah sepiring pisang goreng yang masih hangat sudah berada di depan meja.

Menikmati kopi panas dan berbincang banyak hal. Pak Anton bercerita tentang alur yang membawanya ke titik dimana beliau harus mengulang kembali perjalanan hidupnya. Cerita yang memberikan kesan kesenduan sore hari itu. Beliau sempat terjerumus dan mendekam di balik jeruji besi. Sudah banyak orang yang ia tipu lantaran hedonisme dunia yang membutakan akal sehat manusia.

Beliau bercerita tentang sebuah perjalanan dimana ia menemukan titik balik. Sebuah kepasrahan yang membuatku teringat akan sebuah kutipan.

“...Pergilah ke lembah harapan, maka kau akan dapat mendengar suara Tuhan.”

Rotasi jarum jam mulai mencepat, senja sudah kembali keperaduannya untuk beristirahat, dua buah gelas yang semula terisi penuh kini tinggal ampas. Meski ku masih betah untuk duduk berlama-lama memperbincangkan gurauan tentang waktu.

Tak bisa terelakkan, bukan tidak penting dalam hal mengenang waktu, karena apa yang telah terjadi di masa lalu menentukan apa yang terjadi hari ini. Meskipun seorang sahabat berkata “...sungguh mubazir untuk menyesali waktu, toh itu pun sudah lewat, kita bisa apa?” Kemubaziran itu cukup adil ketika kita menyadari bahwa hidup sesungguhnya hanyalah sekedar “numpang lewat”. Terdengar klise. Tetapi memang begitulah kenyataannya.
Perjalanan hidup telah merelokasi kita dari setiap episode kehidupan ke episode selanjutnya. Waktu berlalu, episode berganti dan mengubah setiap orang yang ditemui menjadi orang lain, kembali setelah sebelumnya saling mulai mengenal sebagai orang yang lain.

***

Aku masih ingat ketika anak itu menangis minta diteteki oleh ibunya. Raungannya memanjakan telinga. Sekarang anak itu sudah dewasa, mirip sekali dengan bapaknya – pendiam, lugu, tapi selalu mempunyai tanda tanya besar di dalam kepalanya. Kemarin, ketika aku sempat bercerita tentang sebuah alur yang telah membawaku lebih mengenal apa tujuan hidup, tak henti-hentinya anak itu mencerocoskan pertanyaan-pertanyaan skeptis yang membuat bulu kudukku bergidik. Pertanyaan yang sama yang selalu berputar dalam fikiranku ketika usiaku memasuki 40.

Aku sudah tak lagi muda, meskipun “katanya” tak ada kata terlambat untuk bertobat. Namun, rongrongan penyesalan selalu membuntuti ketika istriku membasuh peluhnya akibat sengatan matahari di pematang sawah. Sesekali senyumnya merekah ketika anak kami datang membawa makan siang, pukul 12. Dia sangat mencintai anak itu. Meskipun anak itu tidak lahir langsung melalui rahimnya. 10 tahun lalu, ia kami bawa dari sebuah panti sosial ternama di kota. Berharap, aku dapat mewariskan harta yang aku kumpulkan ke generasiku selanjutnya. Lagi lagi, manusia cuma bisa berencana. Takdir berkata lain, rekeningku diblokir, harta-bendaku disita oleh beberapa pria berbadan tegap - berpakaian rapi dari salah satu institusi finansial. Syukurlah.. mungkin Tuhan tak rela melihat anak yang masih suci itu memakan uang haram yang ku kumpulkan dari hasil menipu.

Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menuliskannya. Karena pada tiap-tiap peristiwa yang hadir, selalu ada misteri yang tak terfikirkan oleh alam sadar manusia.

***

Langit tak lagi terang, rembulan perlahan muncul dari balik awan. Tepat dua malam aku tiggal disini. Udara siang dan malam yang tak jauh berbeda, membuatku ingin tetap dirumah. Sepertinya keberuntungan sedang memihakku malam ini. Sangat kebetulan ada yang mengetuk pintu depan. Wajar saja, semenjak bapak dipindah tugaskan ke kota, rumah ini hanya berisi kakek, nenek dan seorang pengasuh yang jarang sekali kehadiran tamu.

Malam ini aku kedatangan dua orang teman lama. Angga dan Rizky – teman main gundu ku sewaktu kecil. Mereka yang dulu sempat dimarahi bapakku karena berkelahi akibat kalah main gundu. Sudahnya malah aku yang dikejar-kejar mereka karena mangedukannya ke bapak. “Ah... aku rindu, aku rindu mereka semua...”

***


Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Pageviews

BisikanAlamRaya@2014. Diberdayakan oleh Blogger.