“A
Journey To the West”
Pagi itu sedikit berbeda, tak
seperti biasanya. Sinar mentari yang mulai menembus melalui celah-celah mulai
membakar kayu-kayu yang memondasikan rumah panggung. Aroma kayu jati mulai
terasa, terhirup melalui hidung. Ketika
kedua mata terbuka, rasa gigil mulai merasuki kedua pasang kaki yang dari
semalam sudah terselimuti selimut yang cukup terbilang tebal. Tersadar, ternyata diri ini tidak
sedang berada di rumah. Kemarin malam, aku baru saja sampai di sebuah perkampungan
sebelah barat provinsi Lampung. Suasana pagi yang begitu berbeda membuatnya
lebih nyaman untuk menarik selimut lebih tinggi ketimbang melakukan aktivitas
di pagi hari.
Pukul 10:00, aku mulai beranjak
dari tempat tidur. Air mulai membasuh wajah, air yang bening dan terasa lebih
dingin membuat bulu kuduk mulai berdiri. Ku buka jendela pintu dekat beranda
sekedar untuk mempersilahkan angin menderu wajah, membiarkan mentari
menghangatkan suasana. Sebatang lisong dan secangkir kopi hitam yang pekat
hadir menemaniku duduk di depan beranda rumah. Aku dapat mendengar beberapa
cicitan burung, dan deru angin yang memanjakan pepohonan untuk menari. Sungguh!
suasana yang tak mungkin dapat ditemukan dikota.
Abu lisong tercecer di lantai,
sangat berantakan. Seakan-akan sosok Bapak baru saja duduk menemani tepat
disebelah kursi kosong itu. Mengusap rambutku dengan jemarinya yang halus dan
dingin, mukanya tampak pucat, rambutnya mulai memutih. Bapak berbicara tentang
Tuhan dan keluarga yang ditinggalinya. Bapak telah pergi meninggalkan kami
tujuh tahun yang lalu. Bapak mengidap penyakit stroke yang sudah akut. Harta benda telah habis terjual demi
menyembuhkan penyakit bapak. Tak sepeserpun warisan yang ia tinggali untuk
keluarganya, hanya buku-buku tentang agama dan kepercayaan yang ia wariskan
kepada anak-anaknya. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan dan kekecewaan yang
berarti.
“Carilah Tuhanmu dan
Bahagiakanlah keluarga kita, nak....”
Tubuhku menyerap hangatnya sinar
mentari pagi ini, perlahan mengeringkan bulir-bulir air yang jatuh membasahi
pipi. Oh mentari... Mentari yang sama di pagi itu ketika bapak menutup kedua
mata dan menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Di kursi tua di diberanda rumah, seperti
biasa aku mempunyai kebiasaan membiarkan tubuhku tersengat matahari pagi, dokter
menganjurkan agar aku merutinkan diri untuk berjemur saat pagi hari demi
menyembuhkan dari gejala kelumpuhan yang ku derita selama lebih dari 3 tahun
belakangan ini. Aku sudah tak bisa lagi mencari nafkah, jalan pun harus
dituntun.
Waktu itu aku ingat sekali, wajahku
pucat menatap langit, lalu kemudian mulai memerah akibat sengatan matahari.
Aku berkata pada anak bungsuku....
“....Seperti roda, selalu
berputar.. terkadang berada di atas, terkadang berada dibawah. Tapi untuk
menggerakan sebuah roda itu membutuhkan usaha...”
Aku tersenyum padanya.. saat itu dia
masih berumur 10, mungkin dia tak mengerti apa arti dari kata-kataku barusan.
***
Diberanda rumah ini, aku kembali
mengulang kata-kata yang disampaikannya, aku mulai mengerti apa arti dari
kata-kata itu, bahwa hidup manusia itu layaknya sebuah roda, ketika suatu sisi
roda berada dibawah untuk merubahnya menjadi keatas harus membutuhkan sebuah
usaha. Begitu juga dengan kehidupan, ketika merasa terpuruk salah satu cara
untuk bangkit adalah berikhtiar.
Aku jadi teringat masa ketika
keluarga kami sempat merasakan pahitnya hidup karena tak ada lagi biaya yang
cukup untuk bertahan. Seorang Ibu yang memikul beban keluarga menjadi tulang
punggung, berjuang sendirian untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan
yang lebih tinggi, dan seorang anak pertamanya yang membantu meringankan
sedikit beban.
Aku tak begitu ingat bagaimana
ceritanya. Maka kuikuti dan kujalani
saja kemana alur waktu membawa. Hingga aku telah berdiam sendiri diberanda
rumah ini. Mengingat, menikmati berkah
dari-Nya.
Aku tersadar dari lamunanku,
entah karena udara yang terlalu dingin atau gejala keterkejutanku dengan sosok
mendiang bapak barusan. Seraya mengucap tahmid,
aku membereskan abu lisong yang makin tercecer, tersapu oleh angin.
Suara adzan mulai berkumandang
tanda waktu memasuki shalat ashar, tampak beberapa orang dengan pakaian putih
bersih dan bersorban lengkap memasuki masjid tua yang masih begitu megah. Konon
katanya masjid itu sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Ku mulai membasuh
wajah lesu dengan air bening itu. Entah mengapa peribadatan kali ini sungguh
membuatku tak nyaman. Aku merasa asing untuk berada disini ditengah para
orang-orang yang sangat khidmat melakukan aktivitas pendekatan dirinya dengan
Tuhan. Kulihat beberapa diantaranya menangis, seraya menengadahkan kedua tangan
layaknya orang yang hina. Pemandangan kali ini sangat jarang kutemukan di sana,
di kota tempat aku tinggal.
“Apa dosa yang telah mereka perbuat
hingga mereka begitu tersedu menangisinya??”
Lamunanku terbuyar ketika suara
yang tampak tak begitu asing menyapaku.
“Adzar... Apa kabar? Sedang
berkunjung disini?”
Sosok paruh baya berjubah putih,
lengkap dengan sorbannya muncul dari arah belakang. Kulihat senyum bapak itu
terlukis diantara kulitnya yang sudah tak lagi kencang.
“Pak Anton... kawan ayahmu
dulu..”
Terdiam sejenak, mencoba
mengingat kembali nama orang yang sekarang sudah duduk berada tepat disampingku.
“Pak Anton...” , siapa yang tak kenal dia, pengusaha muda kaya yang tinggal di
kota, usahanya dimana-mana, rumah mewah dan lusinan mobil terparkir di halaman
rumahnya.
“Iya pak, Adzar meyempatkan waktu
untuk berkunjung kesini, kuliah sedang
libur”
“Wah.. Sudah besar ya sekarang...
Bagaimana kabar keluarga, sehat?
“Alhamdullilah pak.. Ibu dan
keluarga dirumah masih diberi kesehatan”
Matahari masih meninggi, satu
persatu orang-orang mulai meninggalkan masjid, beberapa darinya masih ada yang
memilih untuk berdiam. keadaan disini memang begitu menentramkan, ditambah
dengan dinginnya angin yang masuk melewati pintu-pintu.
Pak anton mempersilahkan untuk
bersilaturahmi kerumahnya, sekedar untuk menjamu tamu yang datang jauh dari
kota. Setiba di depan rumahnya, kembali aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan.
Rumah yang terbilang sederhana dan sebuah motor Honda tua terparkir didepannya.
“...Apa benar ini rumah beliau?
Kemana semua hartanya? Mengapa beliau sekarang berpenampilan sangat berbeda?
Berpenampilan sederhana. Mobil yang dulu berjejer di pekarangan, kini hanya ada
motor tua di depan rumahnya. Apa yang telah dialaminya?? Ah entahlah...”
Pak Anton memanggil istrinya,
memperkenalkannya pada anak muda yang sudah duduk di ruang tengah beberapa
menit yang lalu. Pak anton meminta untuk dibuatkan dua gelas kopi hitam. Tak
selang beberapa lama dua gelas kopi hitam pekat ditambah sepiring pisang goreng
yang masih hangat sudah berada di depan meja.
Menikmati kopi panas dan
berbincang banyak hal. Pak Anton bercerita tentang alur yang membawanya ke
titik dimana beliau harus mengulang kembali perjalanan hidupnya. Cerita yang memberikan
kesan kesenduan sore hari itu. Beliau sempat terjerumus dan mendekam di balik
jeruji besi. Sudah banyak orang yang ia tipu lantaran hedonisme dunia yang
membutakan akal sehat manusia.
Beliau bercerita tentang sebuah
perjalanan dimana ia menemukan titik balik. Sebuah kepasrahan yang membuatku
teringat akan sebuah kutipan.
“...Pergilah
ke lembah harapan, maka kau akan dapat mendengar suara Tuhan.”
Rotasi jarum jam mulai mencepat, senja
sudah kembali keperaduannya untuk beristirahat, dua buah gelas yang semula
terisi penuh kini tinggal ampas. Meski ku masih betah untuk duduk berlama-lama
memperbincangkan gurauan tentang waktu.
Tak bisa terelakkan, bukan tidak
penting dalam hal mengenang waktu, karena apa yang telah terjadi di masa lalu
menentukan apa yang terjadi hari ini. Meskipun seorang sahabat berkata
“...sungguh mubazir untuk menyesali waktu, toh itu pun sudah lewat, kita bisa
apa?” Kemubaziran itu cukup adil ketika kita menyadari bahwa hidup sesungguhnya
hanyalah sekedar “numpang lewat”. Terdengar klise. Tetapi memang begitulah
kenyataannya.
Perjalanan hidup telah merelokasi
kita dari setiap episode kehidupan ke episode selanjutnya. Waktu berlalu,
episode berganti dan mengubah setiap orang yang ditemui menjadi orang lain, kembali
setelah sebelumnya saling mulai mengenal sebagai orang yang lain.
***
Aku masih
ingat ketika anak itu menangis minta diteteki
oleh ibunya. Raungannya memanjakan telinga. Sekarang anak itu sudah dewasa,
mirip sekali dengan bapaknya – pendiam, lugu, tapi selalu mempunyai tanda tanya
besar di dalam kepalanya. Kemarin, ketika aku sempat bercerita tentang sebuah
alur yang telah membawaku lebih mengenal apa tujuan hidup, tak henti-hentinya
anak itu mencerocoskan pertanyaan-pertanyaan skeptis yang membuat bulu kudukku
bergidik. Pertanyaan yang sama yang selalu berputar dalam fikiranku ketika
usiaku memasuki 40.
Aku sudah tak lagi muda, meskipun
“katanya” tak ada kata terlambat untuk bertobat. Namun, rongrongan penyesalan
selalu membuntuti ketika istriku membasuh peluhnya akibat sengatan matahari di
pematang sawah. Sesekali senyumnya merekah ketika anak kami datang membawa
makan siang, pukul 12. Dia sangat mencintai anak itu. Meskipun anak itu tidak
lahir langsung melalui rahimnya. 10 tahun lalu, ia kami bawa dari sebuah panti
sosial ternama di kota. Berharap, aku dapat mewariskan harta yang aku kumpulkan
ke generasiku selanjutnya. Lagi lagi, manusia cuma bisa berencana. Takdir
berkata lain, rekeningku diblokir, harta-bendaku disita oleh beberapa pria
berbadan tegap - berpakaian rapi dari salah satu institusi finansial. Syukurlah..
mungkin Tuhan tak rela melihat anak yang masih suci itu memakan uang haram yang
ku kumpulkan dari hasil menipu.
Manusia
hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menuliskannya. Karena pada tiap-tiap
peristiwa yang hadir, selalu ada misteri yang tak terfikirkan oleh alam sadar
manusia.
***
Langit tak lagi terang, rembulan
perlahan muncul dari balik awan. Tepat dua malam aku tiggal disini. Udara siang
dan malam yang tak jauh berbeda, membuatku ingin tetap dirumah. Sepertinya keberuntungan
sedang memihakku malam ini. Sangat kebetulan ada yang mengetuk pintu depan.
Wajar saja, semenjak bapak dipindah tugaskan ke kota, rumah ini hanya berisi
kakek, nenek dan seorang pengasuh yang jarang sekali kehadiran tamu.
Malam ini aku kedatangan dua orang
teman lama. Angga dan Rizky – teman main gundu
ku sewaktu kecil. Mereka yang dulu sempat dimarahi bapakku karena berkelahi
akibat kalah main gundu. Sudahnya
malah aku yang dikejar-kejar mereka karena mangedukannya ke bapak. “Ah... aku
rindu, aku rindu mereka semua...”
***
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar