Mentari sudah tersenyum di ufuk barat, di
selingi suara-suara nyanyian burung emprit disana-sini. Sudah, aku sudah
terbangun, karena suara nyaring nan menggema seantero dunia membangunkan ku
dari mimpi panjang ku.
“Adit….. bangun!!!”
Ya adit
nama ku. Kakak ku memang selalu berteriak di pagi hari untuk membangunkan ku,
dan meminta ku bergegas mengantarnya bekerja di salah satu rumah sakit swasta
di Bandar Lampung.
Pagi itu aku masih ingin memejamkan mata
sebentar lagi, tapi suara itu tetap saja terdengar, ditambah dengan suara
ketukan pintu kamar yang tambah memekakkan telinga.
“Arrggghhh!!!
Iya….. Aku bangunn!!”
Pagi itu ibuku sudah menghidangkan segelas the
hangat tepat disamping sekotak donat JEKO. Yah aku hanya bisa mencicipi secuil
dari donat yang melingkar, karena kakak ku terus saja berteriak bak penyayi rocker
papan atas.
“Ah… sudahlah..”
Sedikit bagian muka ku tekuk
menandakan amarah ku padanya, tetap saja dia acuh tak acuh menanggapi ku. Aku
hanya bisa menghela nafas panjang. Yah maklum lah sekarang hanya dia yang
membanting tulang dirumah, ayahku sudah lama meninggal, sedangkan ibu ku hanya
seorang mantan guru sekolah dasar yang gaji pensiunan nya tak dapat sepeser
pun.
Aku memang mengerti hidup ini
bagaikan hukum alam (baca: timbal-balik). Kakak ku pernah berkata kalau segala
yang ia berikan padaku tidak lah cuma-Cuma, melainkan pengharapan timbal balik ku
padanya. Yah memang begitu, segalanya telah dicukupkan olehnya, meskipun ku
tahu dia hanya lah perantara dari yang kuasa.
Aku mulai mengerti sedikit demi
sedikit nilai kehidupan, dan aku mulai mempercayai bahwa Tuhan itu ada, tidak
hanya agama yang ku bawa dari kaki orang tua hingga biodata.
Yah, sekarang umurku sudah
belasan, aku sudah harus mengerti apa itu agama sebenarnya bukan hanya title
dalam kartu nama. Dan sebuah kehidupan, apa itu sebenarnya arti hidup, bukan
hanya makan mandi dan tidur saja..
Aku yakin hidup ini sudah ada
yang mengatur, kita hanya tinggal menjalani saja, tetapi aku fikir,jika kita
tak merubah sendiri takdir kita, maka tuhan tak akan merubah jalan kita. Atau
mungkin hidup ini hanya skenario tuhan yang kita sebagai peran utama dalam
skenario itu?, dan tinggal bagaimana kita berimprovisasi dalam menjalani
kehidupan ini.
Aku tak munafik, jika hidup ini
harus real, walaupun kata hati selalu berkecamuk memikirkan kontroversi yang
harus kuperbuat. Satu-satu nya jawaban pasti hanyalah pengaduan maya yang
selalu ku terapkan pada sang vertikal. (baca: Tuhan)
Yah itulah hidup…
Kembali lagi di kehidupan ku yang selalu timbul
pro dan kontra,yang aku perbuat tidak selalu mengikuti kata hati, meskipun ku
tahu kalau semua ini ada tujuan nya. Contoh kecil nya kalau kalian dipaksa oleh
orang tua kalian untuk belajar seni, sedangkan kalian ingin belajar matematika,
apakah kalian pernah berfikir ada tujuan di balik itu semua? Apakah kalian
yakin bahwa bidang seni tersebut tidak bermanfaat untuk kalian? Apakah kalian
bisa menjamin apa yang akan terjadi selanjutnya? Begitu juga dengan hidup ini,
kita tak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kita hanya bisa menjadi
wayang dalam skenario dalang (baca: Tuhan). Yang bisa kita lakukan hanyalah
jalani dengan sedikit improvisasi.
Aku kembali pulang, setelah mengantar kakak ku
bekerja. Di tengah perjalan aku mampir di sebuah kedai kelontong yang menjual
beberapa menu sarapan pagi. Ku makan dengan lahap dan tak lalai akan keberkahan
yag diberikan-Nya. Ku menoleh, kulihat seorang perawakan berkumis bertubuh
langsing menyenderkan tubuh nya dibalik tembok di temani sekarung botol plastik
dengan kedua tangan menyelimuti kakinya.
Sempat otak ku berfikir untuk mengajak nya
menyantap sepiring nasi uduk bersama ku, aku tahu dia belum sempat untuk
menyantap makanan pagi ini, atau mungkin dari semalam. Ku melihat isi kocek ku,
terlihat 2 lembaran hijau dan 3 lembar uang ribuan, memang niat nya uang itu
sebagai tabungan, karena aku ingin membeli sebuah buku ternama yang selama ini
aku idam-idam kan, walaupun uang itu belum cukup terkumpul.
Kuhidupkan sebatang rokok putih dan mulai
berfikir apa yang harus aku lakukan. kontroversi dalam otak dan batin mulai
menimbulkan pro dan kontra bak seseorang yang berhadapan dengan seekor raja
singa, memilih untuk kabur atau melawan nya.
Dan kuputuskan untuk menyimpan kembali lembaran
itu kedalam dompet, dan bergegas untuk pulang. Kustater bebek yang kutunggangi
seraya menoleh orang itu.
Breeemmm…
Di perjalanan otak dan batin kembali bertarung,
untuk menunjukkan siapa yang akan menjadi juara. Di persimpangan jalan, ku
memutar laju motor ku, berniat untuk kembali dan memberi bapak itu sedikit berkah
dari-Nya untuk mengganjal perut bapak itu untuk pagi ini.
Sesampai di toko kelontong, ku mennoleh kanan
kiri untuk mencari bapak itu, tak kulihat batang hidung nya. Aku bertanya pada
seorang ibu yang melayani ku tadi, katanya dia telah pergi beberapa menit yang
lalu.
Aku terdiam, tak sepatah kata pun aku ucapkan
kecuali terima kasih kepada ibu itu. Di perjalanan aku berfikir, betapa bodoh
nya aku, hanya untuk menolong seseorang yang membutuhkan pun aku harus berfikir
dua kali.
Tak terasa bulir-bulir mutiara menetes dari
kedua mata ku. Penyesalanku selalu muncul ketika ego yang memenangkan
perdebatan otak dan hati. Ku tutup helm dan mempercepat laju motor ku, seolah amarah yang
meluap tak bisa dibendung lagi.
Ku parkir motor ku di halaman, cepat ku masuk
kedalam rumah dan membasuh muka dengan air suci. Kembali ku teringat tentang
perawakan seorang bapak di toko kelontong tadi. Ku bersujud di atas kain panjang
berukuran satu meter lebih, memohon ampunan dari-Nya..
Kita hidup tidak sendiri
Kita hidup dengan penuh ego
Kita hidup dengan penuh pembualan
Kita hidup dengan penuh kontroversi
Hidup….
0 komentar:
Posting Komentar