Minggu, 19 Januari 2014

"Kisah-Kisah Yang Mengingatkan"



Oh sahabat.
Tidak kah kau ingat disaat letihnya kita menyusuri kota jogja. bersendau, tertawa bersama.
Bercerita satu dengan yang lain nya, sedang kita baru saja bertatap muka untuk pertama kalinya.

Aku ingat disaat kita mengangkat gelas kita masing-masing lalu Tingg.. gelas kita bersentuhan menimbulkan suara cinta yang romantis, lalu tersenyum manis.

Ku tak tahu, Dimanakah kalian? Sedang apakah kalian? Apakah kalian sedang resah, gelisah seperti yang kuhadapi sekarang?

~Kisah-Kisah Yang Mengingatkan





"Elegi Rakha"



Every time I close my eyes, I feel see you in front of me
I can hear your voice calling out my name
Then, I remember all the stories we share
I’m so thankful for every memory we'd share

I miss the time we were around
The time when love, laugh, and smile gathered
I’m so grateful for every moment we spend
`Cause i can learn from every single thing was happened 

Night and day..
I still feel you are close to me
I remember you in every prayer that I make
Every single day may you be shaded by His mercy

You came so soon.
You left so soon.

I know this life is not forever, it will end
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I have to stop this tears, keep my faith and be strong
I’ll try to do it all, even though it's so complicated

I’m so thankful for every memory we'd share
I’m so grateful for every moment we'd spend

"DIKSI"

Aku ingin seperti kelapa.
Walaupun sendiri tak apa-apa.
Merajut asa dari tunas hingga dewasa.
Menjadi berguna bagi tiap jenjang isinya.



Aku ingin seperti padi.
Berwarna emas menyambut pagi.
Berayun menari kesana-sini.
Tetap menunduk walau mengisi.



Aku ingin seperti cemara.
Tajam ujung daun-daun nya.
Tumbuh menjulang ke angkasa.
Tetap tegar walau diterpa.



Terima kasih tuhan telah engkau ciptakan.
Ciptaan indah lagi menawan.
Memang bukan sekedar pemandangan.
Tapi bekal pembelajaran.

Sabtu, 18 Januari 2014

"Cinta?"

Sore hari, di halaman samping rumah kontrakan, tiga mahluk yang mengaku manusia, Mas Wir, Gemblung, dan Topo, duduk bersebelahan, diam.

"Kok pada diam? lagi kesambet bareng ya?" kata Syekh Mukhlisin tiba-tiba nongol, cengangas-cengenges, seperti biasa--kehadirannya yang tak kami kehendaki dalam situasi seperti ini.

"Enak aja, lagi merenung kami ini, Syekh!" kata Topo.

"Mantab. soal apa? harga elpiji?"

"bukan," kata Gemblung.

"Oh, mesti soal kebudayaan lokal?"

"Nggak," kata Mas Wir.

"Terus soal apa dong?"

"Santi," kata Topo.

"Endang," kata Mas Wir.

"Donna," kata Gemblung.

"Jadi...maksud kalian merenung tadi itu, kalian ini sedang mikirin cinta ya...?"

"Yoi....," jawab Topo, Gemblung, dan mas Wir Serempak.

"Cuaaah!...Guoblook! masa urusan cinta dipikirin! kalau mau mikir, ya pikirin tuh soal matematika, logika, atau negara," kata Syekh Mukhlisin mencak-mencak sok syip.

"Jangan asal komentar dong Syekh! kalu nggak ngerti nggak usah ngomong sembarangan gitu dong!," jawab Gemblung nekad.

"Siapa yang kau anggap nggak ngerti?! aku?," kata Syekh mukhlisin sambil mencet hidung Gemblung kuat-kuat. 

Seketika Gemblung kesurupan.

"Justru karena aku sangat ngerti makanya aku ngomong kayak gitu. kalian tahu berapa puluh kali dalam hidupku aku harus jatuh cinta kemudian patah hati atau ditolak karena salah menempatkan 'kerja pikiranku' di ruang di mana seharusnya hati atau qolbumu yang bertindak. jatuh cinta kok dikalkulasi-kalkulasi. jatuh cinta kok merancang-rancang. jatuh cinta kok baca-baca buku dan minta segala macam bentuk bimbingan. jatuh cinta kok berusaha menjadi 'pintar' dihadapan sosok yang kau cintai. jatuh cinta kok menenggang dan menawar-nawar hubungan dan komitmen. jatuh cinta kok memaksa agar sosok yang kau cintai itu tunduk di bawah persepsi dan kriteria-kriteria di kepalamu. jatuh cinta kok menduga-duga jarak, positioning, dan titik koordinat maqommu dihadapan sosok yang kau cintai. jatuh cinta kok mengerahkan pikiranmu bukannya menyerahkannya. jatuh cinta kok belum-belum sudah menghitung manfaat yang bakal kau dapat. jatuh cinta kok sibuk memasang perangkap dan menebak-nebak! kalau kalian mau main kalkulasi, jangan main cinta dong, bisnis aja, bisnis, atau dagang sekalian! paham!!" ujar Syekh Mukhlisin.

"Jadi kami harus bagaimana nih...?" 

" ya nggak gimana gimana. jatuh cinta aja. lenyapkan dirimu di lautan cinta. nggak usah takut tenggelam dan karena itu kalian sibuk menyiapkan training agar selamat dari ketenggelaman. kau memang harus hilang, tenggelam. kau memang harus goblok dan jangan sok pintar. kau memang harus miskin-papa di hadapan cinta, jangan berlagak kaya. kau jangan menyiapkan strategi, karena itu berarti kau mendudukkan cinta di bawah pikiranmu--yg sok tahu dan merupakan buah dari kondisioning, bacaan, keluarga, teman, otot dan postur tubuh, roman wajah, trauma-trauma, harapan-harapan tersembunyi, dll itu. intinya: jangan ge-er di hadapan cinta."

Mas Wir dan Topo menarik nafas. Menghirup prana. 

"paham kalian?" kata Syekh.

"Eeeeee....tapi, Syekh,.... menurut Anda sendiri...sebelum saya atau kami menjawab apakah kami paham atau tidak soal apa yang Syekh katakan tadi,... terlebih dahulu saya mau bertanya...menurut Syekh sendiri, ...terlepas dari apakah pertanyaan saya ini masih berkisar dan berpijak pada konteks atau tidak, karena saya juga berkepentingan untuk memuaskan rasa haus kognitif saya,...karena apa-apa yang Syekh katakan tadi menurut saya sudah masuk ke tataran epistemologis, sedangkan kebutuhan kami saat ini, menurut saya, seharusnya beranjak dahulu dari tataran ontologis...maka saya mau bertanya: menurut Anda sendiri...menurut persepsi Syekh sebagai sosok yang sangat kami hormati....apakah DEFINISI CINTA menurut Anda?" ujar Topo dengan sangat sopan.

"Kampang kamu!," kata Syekh Mukhlisin. lalu menghilang.


~Ari Pahala Hutabarat

Jumat, 17 Januari 2014

"Cliche" (English Version)


That book was thick. Tucked away in a row of thick books of psychology. It has blood-red cover. The title was written with silver ink: Physician Desk Reference. In the body of the book there is a hole box. There, tucked a gun. The gun that spout out the mother's blood to my face. My father kept the gun to eliminate mother for the sake of other woman. But mother chose to do it herself. She went with my fetus sister who is still in her pouch. Mother said, we will be together in heaven. One day I had to do it myself. Everything happens for a reason. As soon as the last sentence of mother.

12:30 AM: Nightmare. Always the same nightmare. I feel my mother came and sat right next to my bed. Stroking to my hair with her fingers, smooth and cold. Just as she had done to me in that night. At that time I was sleeping. Mother sat right next to my bed and stroked my hair. She woke me up with silver-colored pistol. Aimed right, straight to her head, mother talked about father and that woman. It happened when I was seven. The age that does not understand about the meaning of betrayal.

“Everything happens for a reason, Maya”

I get up from my bed and lean into the window when I realized my body is drenched in sweat. Whether because of the hot temperatures or shocked with the nightmare. I don’t want to think about it. I just open the window to let the wind caressing my hair. Silent night. I could see every single corners of the city proud of here, cruel and crowded. Oh my.. the beautiful moon. The same moon when the first time I found you in the corner of city park. Yes you. Now I am here, in this room of the flats that I rent, because of you. I remember that moment. In the old chair in front of the lake, you're staring at the sky. It was a bright full moon. Very bright. Then it could reflect light into your face. Day by day I through to see you again. I went and sat in my favorite place. From there it was so visibly to be watching you. This time, you're wearing a brown coat with a black scarf. Bunch of papers were in your grasp.

Without my conscious I fell into your charms. Fell into the strong feeling toward you. Why did we meet? Everything happened for a reason, but I do not know where it supposed to be. I just follow where it will be. Until I have dwelt alone in the room next to you at the flats. And you came to me because of sacred notation, Ave Maria. Then I knew you as a writer. Your name is Edward. You share a room with your beloved, Rolin. It truly made me despond. Oh God, What a sorrow!

***
Maya, the white flawless girl. She lives right next to this wall. She is not like another girl, another girl in common. Indeed, Maya is not an ordinary girl. She had success to panned me out with her plays, cello. She is an expert in music. Her arrival brings different wind in this flats. Stranger wind. Neither love nor nostalgic appeared in her innocent face along with her presence, when the first time I met her. I wonder what.
What clear since the presence of herself is life of this flats will never be as before. That’s right, Maya is not Rolin and not like Rolin. Rolin has been here, in this room, long before the presence of Maya. Maya may better understand and inspire about all my writings, but still she could not replace Rolin. Rolin who gives me a headache, but when she disappears will leave a void in room 67. Yes 67, where I took off upset and nervous about the end of my writings with Rolin.

Maya. I remember when the first time I found you. It's started last week. At that time you're playing a cello. From behind the walls of this room, it was very clear rhythm sound that I heard. It was right from next to this room. Classical harmonic tones sometimes low, sometimes rising. Ave Maria, I was familiar with this song. Favorite song that always escort me when I'm writing. I can not resist the desire to join with it. I picked up my guitar, I played. Right here, I accompanied you. It was a perfect collaboration. When the song stopped, I was curious to know who's playing. So I went up to your room. I knocked up your door. When your face appeared I’m a smiling.

"Hi, it was a beautiful music, I'm impressed"

"Thank you"

"My name’s Edward. I live next door to your room"

"Hallo. I'm Maya, C'mon get in"

You invited me to enter your room. We chatted in the living room. We getting acquainted each other. Within 30 minutes we had been talking about a lot of things.

"Ave Maria. I love it. I tell you, it’s my favorite song "

"Really?"

"Yes, very emotional. I like to listen it while I'm writing"

"Oh, how can we have the same taste toward music? And we have the same favorite song which has each history for us. You know, I learned it since I was seven"

"So you're a musician?"

"No. It's just a hobby. Hobby that passed down mother to me"

"Is your mother who taught you to play the cello?"

"Yes she’s, I learned from her when I was seven, right when I was at the age that she died"

 "Oh sorry. Umm, why do you move into this flats?"

"My parents died long time ago. Previously, I lived with my uncle and now it’s time for me to live alone"

"Now tell me about yourself. You said that you often write. Are you a writer?”

"Yes, I'm a writer. That's why I stayed in this flats"

 "Why?"

"Because, you know, my friend told me, if you are a writer, just live in flats. You’ll find a lot of inspiration there. And he's right. Flats is always interesting. Like a circus. There are assortment of resident, there are many classes here. They have their own weirdness."

"Have you got the matter?"

"Matter? As I told you earlier. I always find lots of inspiration here. Many attractive people. However, I always sweat out to make the ending of every story that I wrote. Well, maybe because I use the ones on the flats as fictional characters in my stories"

" Why don’t you just make it up to finished it? "

"Cliche. When I started to put an end for my writings. Everything ends cliche. While I wish it will be end naturally. Something different from the common reality. That's why I quit"

***

That woman is gorgeous. She is really a girl. She always wears pretty clothes. She has smooth white skin. I bet, there’s no a man who didn't want to pet her. The classical melodies that never heard among the halls of this flats before, now loudly echoed in the strains of a cello. Ave Maria, sounds more like a requiem of death. That goddamn music brought Edward to her. Yes Edward, my dear. We live together here, not only share a room, but also hopes and dreams that we have designed together. He took me run away from my parents before. They didn’t bless our relationship, because of social class. Classic!. Sounds like the old story that you can find in the books dime novel. Where romance between different castes is taboo. But we are happy here. Because we’re together.

"For loving you, Rolin, even I have to bear the consequences as a form of my responsibility. I be hated, but you'll sit like a Queen"

Don’t you remember when we brace our finger? That’s before she was here. Maya, a woman who understand more about your writings. She, who is more getting sense of your stories. The only woman who able to reveal the other side of yours. While, I just a psychologist who doesn’t even know the way of your mind, can’t read the waves of your soul, unable to predict your inner world. Something ironic for psychologist. But the only thing that I knew, you’re hypnotized. On her who spread out the trawl. While I'm crashing like a leaf in autumn. Because my love is being jealous. I keep my eyes on, and catch that your relationship is getting closer. I want to go alone.

***

Yes, you are a writer who chose to live in the flats. You said, flats like a circus. It’s full-color and weird. Flats is always interesting. It becomes matter for your stories. You make their lives as your fiction stories. But because the characters of the story is still alive, you do not know how to finished it. Indeed, it’s easy for you to make up the ending. But you won’t. You want a natural plot. Maybe that’s the difference between fiction and reality. Fiction has an end. While reality, life goes on.

I was so curious. So I duplicated your scripts while you don't realized it. And I was drowning in your stories. My mind and imagination were spacing out. I read your stories. The first story, about an old artist who lives right across my room. In the fact, he never allow anyone to get into his room. He's hard to get along. Bad in interact. A rumor said, he became a bit insane after his wife's death. In your fiction-story, in his room, there is a portrait. He supposed that the portrait is the manifestation of his wife. Because the portrait is his wife, he never allows anyone to see it, admired it, and touch it without distance. Second story. Merry, a loyal woman, her hobby is collecting any kind of flowers around the world. She said, she would give it as a surprise for her couple when he home later. He was a sailor who always busy and never had time to visit her. But she trusted and kept waiting for him. In fact, she often wrote a letter to him. She occasionally checking the mailbox, may there a reply letter from him. The last is about an old woman, Mrs. Ross. She lives with her cats. So many cats in her room. She never left the room besides when she need to get some nourishment. Rumor said, she still virgin, she failed to marry, since her fiance was murdered. Somehow and what the reason is, her fiance death, but she found a cat beside of the dead body. Then, she supposed the cat as an incarnation of her fiance. It was an anomaly how the cat can breed, but guess what? those kitten must be their children.

I began to love your stories, like a fresh air for me. Fresh air that haunt me the fate of the end of every story. Then I played the notation of Ave Maria as my yearning expression to you. Here, when the heavy rain fell outside. Suddenly, I heard the sound of the door opening. There's a shadow came into my room. "Oh my, that crazy guy!" Crazy artist that told in Edward's stories. He came and gave me a little appreciation with claps. Then he pulled my hand, took me to his room. He told me about his deceased wife who has the same things with me, cello. He said that his wife likes to play cello, and notation that I played just reminded him to his wife, who always accompanied him with cello’s when he painted.

He asked me to play with his cello’s wife. Ave Maria, he said. Then the atmosphere becomes serene. We fell into desolation. I saw his tears was dripping down. Then he wiped his tears with a rag. Dirty rag. We drowned in an weird atmosphere. Then he took me into an obscure room, where stored a portrait, covered with silk cloth.

Sreett ...

Then, a portrait of woman with a red-blood clothes appeared on canvas full of dust. Beautiful. A beautiful woman. He said that I truly like her. That's why he let me to see it.

***
The gloomy morning, the clouds become gray. As gloomy as what happened this morning. Han the old artist was found hanged in his room. Before he was found discovered, people see a portrait glued in front of Han's door. A portrait of beautiful woman wearing a red-blood clothes. The portrait has been damaged, seen from scratches on the canvas. The frame was broke. When the people opened the door to tell Han, looked a pale-body was knotted and hanged in ceiling. There is something wrong with this flats. All happened suddenly, what was the motivation of this? And when I talk to Edward, he said,
"Shut up Rolin! I just got my inspiration back! "

Yes, since the tragedy this morning you write all day long and heed me out. You become potential When incident happened. And you will become autistic when you start to write. I want to go alone.

But I do not really go. I’m still here. Trying to fix my relationship with Edward. Properly his priority is himself, myself, his future, and of course our future. After he had took me to run away from my parents' house. Finally I'm here. That's because I believe in his promise. Should I regret it? After all this happened. But it isn't fair when I become a crybaby while I realized that I have to face my consequences of my choice. The choice that I've considered what risk when I choose to be with you. It’s not meant that I hate writer. I just hate why should you that be a writer.

I hate his stories. Especially the story that he wrote about us. But the more I hate, the more he immersed in his world. Until one day those terror happen again. Merry, a woman who lived on third floor was found died. She stabbed a knife on her stomach. She died while holding a piece of paper. A paper that makes she die. An envelope lying on the table, right next to her favorite flower. On the envelope was written a name in capital, very clear, so that everyone can read it: Rolando Fabian. Merry's husband. Rolando told her that he had married in Spain.

But the incident was not more suspicious than this morning. Mrs. Ross jumped from the fifth floor and tragically died on the ground floor. People swarmed. All panic. They said, someone seen her cats sprawled with mutilated condition in the trash. Sick! The people in this flats are already sick. I suspect one name involved for all these events. I want to tell you, Edward. But when I met you, I see you writing. Expressing ideas in of your mind for the tragedy that was happened. You're passionate, very passionate, like there was nothing more passionate. Now, I really want to go alone.

***

I’m conscious, my soul bubbling. The white paper has now been filled with black ink pens were scattered on the table. I used it to write the stories that I do not know where it ends before. As I told you, my writings are fiction, but I want the plot flows naturally, like a river flows to the sea and find a shelter.

One by one I began to finalized all my works. After all finished, directly I ran towards your room. I knock up your door, but there's no respond. I repeat it. Still, I got a silence. Accidentally your door opened. I rush out, but I don't find a sign of life, just a piece of paper with hand writing that is not strange for me.

All the story is over, Edward. Now only our story were left. I do it all because this strong feelings with you. The feeling that I didn't know why it chose to come to me. I was dragged into this flats, leaving my prosper life, for you. The stranger who hypnotize me strangely. I given you everything. I want to help you finish the story you've written. I know you will find the end of your stories. It is also because of your strong feelings for your future. Future that you promised to Rolin. Thus, you deserve to be happy with her. I went to see mom and my sister. When you read this letter, then we're happy in heaven. Yup, maybe it's cliche. But everything happened for a reason. And all stories must be end.

Congratulation Edward , your book will published!

Maya.









***

Sometimes people come into your life,
But you do not know that they were meant to be.
They teach you a lesson or serve some sort of purpose,
And figure out who you want to become.

You never know who these people may be,
Because so many stranger come and gone
Come and gone to your life that must go on.
But someday, you will ensure to realized on.

Everything happens for a reason.
Nothing happens by chance or mean of an event.
Happiness, injury, love, and lost are true seasons.
Do not question it, but let it flown

Every word has been composed
While story has been told
Do not be cold with your world
Because you will grow and getting old

Selasa, 14 Januari 2014

"KLISE"



Buku itu tebal. Terselip di deretan buku-buku tebal psikologi. Sampulnya berwarna merah darah. Judulnya tertulis dengan tinta perak: Psychian Desk Reference. Dalam tubuh buku itu terdapat lubang kotak. Disana tersimpan pistol. Pistol yang menyemburkan darah ibu ke wajahku. Pistol yang disimpan ayah untuk melenyapkan ibu. Demi perempuan lain. Tapi ibu memilih melakukannya sendiri. Ia pergi bersama adikku yang masih berwujud janin. Kata ibu, kami bertiga akan bersatu di surga. Suatu saat aku harus melakukannya sendiri. Setiap kejadian ada tujuannya. Begitu kalimat terakhir dari ibu.

Pukul 12.30 tengah malam. Mimpi buruk. Selalu mimpi buruk yang sama. Seakan-akan baru saja ibu datang dan duduk tepat di samping tempat tidurku. Mengusap rambutku dengan jemarinya yang halus dan dingin. Persis seperti yang ia telah lakukan malam itu. Waktu itu aku sedang tidur. Ibu duduk di samping tempat tidurku dan membelai rambutku. Membangunkanku. Dengan sepucuk pistol berwarna perak di tangan kanannya yang mengarah tepat ke kepalanya, ibu berbicara tentang bapak dan perempuan itu. Ketika itu aku berusia tujuh tahun. Usia yang masih belum mengerti tentang arti pengkhianatan.

“Setiap kejadian ada tujuannya, Maya…”

Aku bangun dari tempat tidur dan menyandarkan tubuhku ke jendela ketika kusadari tubuhku basah dengan keringat. Entah karena suhu yang panas atau gejala keterkejutanku dengan mimpi barusan. Aku tidak ingin memikirkan itu. Aku membuka jendela untuk sekadar mempersilahkan angin membelai rambutku. Malam yang sunyi. Aku bisa melihat sudut-sudut kota yang angkuh dari sini, juga purnama itu. Oh, purnama yang indah. Purnama yang sama saat kali pertama aku mendapatimu di sudut taman kota. Aku jadi ingat dirimu. Ingat momen itu. Karenamu juga aku disini. Di rumah susun ini. Waktu itu, di kursi tua di depan danau, kau menatap langit. Saat itu bulan bersinar terang. Sangat terang. Hingga dapat memantulkan cahayanya ke wajahmu yang memancarkan pesona. Hari-hari berikutnya aku melihatmu lagi. Aku duduk di tempat favoritku. Dari situ begitu jelas untuk dapat memperhatikanmu. Kali ini kau memakai mantel coklat dan syal hitam. Beberapa larik kertas berada dalam genggamanmu. 

Tanpa aku sadar aku jatuh ke dalam daya tarikmu. Mengapa kita bertemu? Setiap kejadian ada tujuan. Tak kutahu di mana tujuannya. Maka kuikuti dan kujalani saja kemana alur waktu membawa. Hingga aku telah berdiam sendiri di samping kamar yang kau sewa di rumah susun. Dan kau datang padaku bersebab notasi Ave Maria. Kemudian aku mengenalmu sebagai seorang penulis. Namamu Edward. Kau tinggal sekamar bersama kekasihmu, Rolin. Kenyataan itu mengguncang hatiku.

***

Maya, gadis manis berparas cantik, yang tinggal tepat di sebelah dinding kamarku. Ia pintar bermain musik, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh gadis biasa. Memang, Maya bukanlah seorang gadis biasa. Kedatangannya membawa angin yang berbeda di rumah susun ini. Bukan cinta, bukan juga rindu, bukan juga keluguan parasnya yang nampak sekilas ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Entah apa.

Yang jelas semenjak kehadiran dirinya, kehidupan di rumah susun ini sudah berbalik, tidak akan pernah menjadi seperti semula. Dan yang pasti Maya bukan Rolin. Rolin telah berada di sini, di bilik kamar ini, jauh sebelum kehadiran Maya. Mungkin Maya lebih mengerti dan menginspirasi tentang semua tulisanku, tapi tetap saja ia tak bisa menggantikan Rolin. Rolin yang memberikanku sakit kepala, tetapi ketika  menghilang malah memberikan kekosongan di kamar 067. Ya kamar 067, dimana aku melepas gundah dan gelisah akan akhir dari tulisan-tulisanku bersama Rolin.

Pertemuan kami berawal satu minggu yang lalu. Waktu itu kau sedang bermain cello. Dari balik dinding kamar ini, alunan itu sangat jelas terdengar. Tepat di samping kamar ini. Nada klasik yang harmonis kadang rendah, kadang meninggi. Ave Maria, aku tak asing dengan lagu ini. Lagu favorit yang selalu menemani dalam setiap tulisanku. Aku tak tahan menahan nafsu untuk ikut mengiringinya. Kupetik gitarku, kuiringi sampai habis. Saat lagu itu berhenti, aku penasaran untuk mengetahui jemari siapa yang memainkannya. Maka kuhampiri kau ke kamarmu. Aku mengetuk pintu kamarmu. Kau membuka pintu.
Saat kau memunculkan wajah aku melemparkan senyum seramah mungkin. 

“Hai, musik yang indah, aku terkesan” 
“Terimakasih”
“Namaku Edward. Aku tinggal di sebelah kamarmu”
 “Salam kenal. Aku Maya, masuklah ke dalam”
Kau mengundangku masuk. Kita bercakap-cakap di ruang tamu. Saling mengakrabkan diri. Dalam 30 menit kita telah membicarakan banyak hal. 
Ave Maria. Aku menyukainya. Asal kau tahu, itu adalah lagu favoritku”
“Benarkah?”
“Ya, lagu yang sangat emosional. Lagu yang selalu menemaniku kala aku menulis”
“Oh, bagaimana bisa kita memiliki selera dan sejarah yang sama terhadap musik? Kau tahu, aku telah mempelajarinya sejak aku berusia 7 tahun”
“Oya, jadi kau adalah seorang musisi?”
“Tidak. Itu hanya sekadar hobi. Hobi yang diturunkan ibu kepadaku” 
“Apa ibumu yang mengajarimu bermain cello?”
“Ya, aku belajar padanya ketika aku berusia 7 tahun, tepat ketika aku di usia itu ia meninggal”
 “Oh maaf. Hmm, kenapa kau bisa pindah ke rumah susun ini?”
“Orangtuaku sudah lama meninggal. Sebelumnya aku tinggal bersama pamanku dan sekarang sudah saatnya aku tinggal sendiri”
“Sekarang ceritakan tentang dirimu. Tadi kau bilang bahwa kau sering menulis. Apakah kau seorang penulis?
“Ya, Aku seorang penulis. Itu sebabnya aku tinggal di rumah susun ini”
 “Kenapa?”
“Karena, kau tahu, temanku pernah berkata padaku, jika kau adalah seorang penulis, maka tinggallah di rumah susun. Kau akan menemukan banyak inspirasi di sana. Dan dia benar. Rumah susun menarik. Seperti sirkus. Penghuninya bermacam-macam dan aneh-aneh”
“Apa kau sudah dapat bahan cerita?”
“Bahan cerita? Seperti yang ku bilang tadi. Aku selalu menemukan banyak inspirasi di sini. Tetapi, aku selalu kesulitan membuat ending dari setiap cerita yang kutulis. Yah, mungkin karena aku menggunakan orang-orang di rumah susun ini sebagai tokoh-tokoh fiksi dalam cerita-ceritaku”  
“Kenapa kau tidak mengarang saja untuk mengakhiri cerita dalam tulisan-tulisanmu?”
“Klise. Saat aku mulai untuk mengakhiri tulisan-tulisanku. Semuanya berakhir klise. Sedangkan aku ingin itu berakhir alami. Sesuatu yang berbeda dari realita umum. Itu sebabnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan tulisanku”

***

Perempuan itu memang cantik. Dia benar-benar seorang gadis. Pakaiannya bagus-bagus, Kulitnya putih mulus, mana ada pria yang tak ingin mengelus. Melodi klasik yang sebelumnya belum pernah terdengar diantara lorong-lorong rumah susun, kini nyaring menggema dalam alunan sebuah cello. Alunan musik itu pula yang mengantarkan Edward kepadanya. 
Kini aku yakin Edward makin terpikat, melirik pakaiannya yang sewarna bunga violet. Dan aku terhempas ibarat hati yang terbuang. Sebab cintaku sedang cemburu. Ku perhatikan hubungan mereka semakin dekat. Aku ingin pergi saja.

***

Ya, kau penulis yang memilih tinggal di rumah susun. Katamu, rumah susun seperti sirkus. Penghuninya bermacam-macam dan aneh-aneh. Rumah susun selalu menarik. Itu menjadi bahan tulisanmu. Kau menjadikan kehidupan mereka sebagai cerita fiksi bagi tulisanmu. Tapi karena tokoh ceritamu masih hidup, kau tak tahu bagaimana mengakhirinya. Memang kau bisa saja mengarang akhir dari ceritamu. Tapi kau tak mau. Kau ingin plotnya alami. Mungkin itu bedanya fiksi dan realita. Fiksi ada akhir. Realita, kehidupan berjalan terus. 

Maka aku pun penasaran. Tanpa sepengetahuanmu aku menyalin naskah-naskah cerita yang sudah kau tulis itu. Dan aku tenggelam dalam ceritamu. Pikiran dan imajinasiku melompat-lompat. Kubaca naskah ceritamu. Cerita pertama. Tentang seorang seniman tua yang tinggal tepat di seberang kamarku. Dalam dunia nyata, ia tak pernah mau mengizinkan seorang pun untuk masuk ke dalam rumahnya. Dia tidak pernah mau bersosialisasi. Bertegur-sapa pun ala kadarnya. Konon, orang-orang di rumah susun ini mengatakan, dia menjadi agak gila setelah kematian istrinya. Dalam ceritamu, di dalam kamar seniman tua itu terdapat sebuah lukisan. Lukisan itu adalah penjelmaan istrinya. Dan karena lukisan itu adalah istrinya. Ia tak pernah mengizinkan orang lain untuk melihat lukisan itu, mengaguminya, dan menyentuhnya tanpa jarak. Cerita kedua. Merry, seorang wanita setia, hobinya mengoleksi bunga-bunga seantero dunia. Katanya dia akan memberikan bunga-bunga itu sebagai kejutan untuk suaminya ketika pulang nanti. Suaminya seorang pelaut yang selalu sibuk dan tak pernah sempat untuk mengunjunginya. Tapi wanita itu dengan setia tetap menunggu kedatangannya. Bahkan ia rajin menulis surat untuk suaminya. Sesekali ia mengecek kotak surat, barangkali ada balasan surat dari suaminya. Cerita terakhir tentang seorang perawan tua yang sudah berumur, Ny. Eliza namanya. Ia hidup bersama kucing-kucingnya. Tak pernah keluar kamar selain untuk berbelanja. Kabarnya dia masih perawan, dia gagal menikah, karena tunangannya mati dibunuh. Disamping mayatnya ada kucing. Lalu dianggaplah kucing itu penjelmaan tunangannya. Dan kucing-kucing itu adalah anak mereka.

Aku mulai mencintai tulisanmu, seperti hawa segar bagiku. Hawa segar yang mulai menghantui akan akhir dari semua ceritamu. Ku mainkan notasi sajak-sajak Ave Maria di sela-sela hujan yang sedikit lebat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Hah, rupanya seniman gila itu! Seniman gila yang dikatakan Edward dalam ceritanya. Ia datang memberiku sedikit apresiasi dengan kedua tangannya bertepuk. Kemudian ia menarik tanganku, membawaku ke rumahnya. Ia bercerita tentang mendiang istrinya yang memiliki hobi yang sama denganku. Katanya, istrinya gemar bermain cello, dan notasi yang kumainkan barusan mengingatkannya pada istrinya yang dulu selalu mengiringinya dengan bermain musik di kala ia melukis.

Ia memintaku untuk memainkan sebuah lagu kesukaannya dengan menggunakan cello istrinya. Ave Maria, ujarnya. Lalu suasana menjadi hening, biru dan membisu. Kemudian ia mengusap air matanyanya dengan kain lusuh. Kucal, dekil dan kumal, aku tak tahu apa lagi deskripsi yang tepat. Kemudian ia mengajakku ke sebuah ruang gelap, dimana tersimpan lukisan yang tertutup oleh kain sutra. 
Sreett…
Tampak lukisan perempuan berbaju merah darah terpatri di atas kanvas penuh debu. Cantik. Dia bilang aku mirip dengan istrinya. Itu sebabnya dia mengizinkan aku melihat lukisan itu. 

***

Pagi itu mendung, Awan menjadi kelabu. Serupa dengan kejadian yang ada  di rumah susun kala ini. Hans si seniman tua ditemukan gantung diri dikamarnya. Sebelum ditemukan meninggal, seseorang melihat sebuah lukisan terpaku di depan pintu kamar Hans. Sebuah lukisan bergambar perempuan cantik. Lukisan itu telah cacat akibat goresan di kanvasnya. Bingkainya patah. Dan ketika orang-orang membuka pintu Hans untuk memberitahunya, tampak ia telah meregang nyawa. Ada yang tidak beres dengan rumah susun ini. Semua terjadi tiba-tiba, apa motivasi dari semua ini? Dan ketika aku membicarakannya pada Edward, ia malah berkata,
“Diamlah Rolin! Aku telah mendapatkan inspirasiku kembali!”
Ya, sejak kejadian pagi itu kau malah menulis seharian. Begitu ada kejadian tragis kau langsung berpotensi. Kalau sudah menulis kau jadi autis. Aku jadi ingin pergi saja.

Tapi aku tidak benar-benar pergi. Aku tetap tinggal di sini. Mencoba untuk memperbaiki hubunganku dengan Edward. Seharusnya prioritasnya adalah dirinya, diriku, masa depannya, dan tentu saja masa depan kami. Setelah sebelumnya ia telah membawaku lari dari rumah orangtuaku. Bukan berarti aku membenci penulis. Tetapi aku membenci mengapa harus ia yang menjadi penulis. 
  
Aku membenci cerita-ceritanya, terlebih cerita tentang kami. Tetapi semakin aku membenci, semakin ia tenggelam dalam dunianya. Hingga suatu ketika teror-teror itu kembali terjadi, Merry, seorang wanita yang tinggal di lantai tiga ditemukan meninggal. Ia meninggal dengan memegang secarik kertas. Secarik kertas yang membuatnya meregang nyawa. Sebuah amplop tergeletak di atas meja, tepat di samping bunga violet kesukaannya. Di amplop itu tertera sebuah nama dengan huruf yang besar, sangat jelas, hingga semua orang dapat membacanya: Rolando Fabian. Suami Merry. Rolando mengabarkan bahwa ia telah berkeluarga di Spanyol. 

Tetapi kejadian itu tidak lebih mencurigakan dari pada pagi ini. Nyonya Eliza melompat dari lantai lima, dan berakhir tragis di lantai dasar. Orang-orang berkumpul. Semua panik. Mereka mengatakan, ada yang melihat kucing-kucing nya dimutilasi di tempat sampah. Sakit! Orang-orang di rumah susun ini sudah sakit. Aku mencurigai satu nama yang terlibat atas semua kejadian-kejadian ini. Aku ingin mengatakannya padamu, Edward. Tetapi ketika kutemui kau di kamar, kulihat kau sedang menulis. Menuangkan ide-ide dalam pikiranmu atas tragedi yang baru saja terjadi. Kau bersemangat , sangat bersemangat, bagaikan tiada lagi yang lebih bersemangat. Selanjutnya, aku benar-benar ingin pergi saja.

***

Ku mulai bergairah, nafsu ku membuncah. Kertas putih itu kini telah terisi dengan tinta pena hitam yang berserak di meja. Pena yang dulu ku pakai untuk menuliskan cerita-cerita yang tak tahu dimana akhirnya berada. Seperti yang ku katakan kepadamu, cerita ku fiksi, tapi ku mau plot nya mengalir alami, seperti aliran air yang kini menemukan laut untuk bernaung.

Satu persatu ku mulai merampungkan semua cerita-ceritaku. Tak tahan tuk segera memberitahukan berita bahagia ini kepadamu. Ku ketuk pintu kamarmu, tapi tak satupun ada yang menyeru, kulakukan hingga berulang. Tetap saja kesunyian yang kudapat. Tak sengaja pintumu terbuka. Ku bergegas masuk, namun tak kutemukan satupun tanda-tanda kehidupan, hanya secarik kertas yang tulisannya pun tak asing bagiku.

***

Semua cerita telah usai, Edward. Sekarang hanya kisah tentang kita yang tersisa. Aku melakukan semuanya karena perasaan yang kuat padamu, tapi aku tak tahu, entah apa itu.  Bukan cinta, bukan juga rindu. Aku terseret ke rumah susun ini, meninggalkan kemewahan orangtuaku, demi kamu. Sosok baru yang membiusku dengan asing. Padamu kuserahkan kesucianku. Akhirnya kau menemukan akhir dari kisah-kisahmu. Itu juga karena perasaanmu yang kuat pada Rolin. Maka kau layak bahagia dengannya. Aku sudah pergi menemui ibu dan adikku. Kami bahagia. Klise memang. Tapi semua yang terjadi ada tujuannya, dan semua cerita pun ada akhirnya.
Selamat Edward… Bukumu telah terbit!

Sincerely Love,
Maya



Sometimes people come into your life,
But you do not know that they were meant to be.
They teach you a lesson or serve some sort of purpose,
And figure out who you want to become.

You never know who these people may be,
Because so many stranger come and gone
Come and gone to your life that must go on.
But someday, you will ensure to realized on.

Everything happens for a reason.
Nothing happens by chance or mean of an event.
Happiness, injury, love, and lost are true seasons.
Do not question it, but let it flown

Every word has been composed
While story has been told
Do not be cold with your world
Because you will grow and getting old

Thanks To:
-Dasa Septi Angga
-Heri Eko
-Elly Nurmaili

Sabtu, 04 Januari 2014

"Tidak Buta"






Suatu pagi disebuah kantin tua di salah satu institusi ternama, dua sosok pemuda tengah hangat memperbincangkan apa arti kebenaran sejati. Mereka sepakat untuk membahas hal ini dengan hati-hati. Tak ada yang di rugikan atau merugikan diri. Membincangkan manusia dengan kegelisahaan batinnya yang melahirkan pencarian, pencariannya masing-masing.

A: Hei, tahukah kamu. Semalam tadi aku menyadari, apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini. Dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Keabu-abuan dalam diriku muncul disaat aku tengah menyaksikan tontonan pengadu-dombaan antar saudara kita, dan tahu kah kamu? warna itu muncul disaat aku berada di puncak, dimana aku tengah bersemangat memacu diri untuk berpotensi.

B: Hei, sahabat. itu tak terjadi pada dirimu saja. Aku pernah merasakan apa yang kau alami saat ini, dan saat itu aku tengah menjadi seorang yang skeptis. Pertanyaan tentang jati dan krisis identitas diri pun pernah kuselami. Ku fikir kau sedang berada pada titik nol, dimana kau mencari apa yang harus diyakini. Karena persepsi ku, dunia ini tidak ada yang benar benar, benar benar.

A: Jujur saja, sejak lahir hingga sekarang aku masih mencari kepercayaan yang harus aku yakini, Apa itu kepercayaan, mengapa kita harus percaya, dan apa manfaatnya, tak hanya dari kaki orang tua hingga biodata. Pertanyaan-pertanyaan itu lah yg selalu berpusing dalam otakku.



B: Bagus saja bila masih ada pemikirkan kritis tentang apa sejati nya kepercayaan. Aku berfikir manusia melenium malah menjadi robot dalam dirinya sendiri. Karena apa? Karena mereka telah dibutakan oleh kehidupan. Buta dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

A: Tapi… Aku fikir kebenaran adalah persepsi dari masing-masing manusia, kita tak bisa menyalahkan mereka.


Karena agama hanya jembatan menuju kepercayaan,
Maka kita tidak menuhankan agama, tetapi menuhankan Sang Pencipta
Karena kita tidak menghakimi satu-pun ciptaan,
Maka kita tidak dapat mengadili, karena sejatinya keadilan hanyalah milik-Nya

Maka dari itu aku menyimpulkan bahwa kita terlahir individu maka mati pun menanggung amal dan dosa individu. Tidak sekalipun kau, seorang sahabatku mampu membantu mempertanggung jawabkan, akan apa yang telah aku lakukan.

B: Wahai sahabat, beruntunglah kita bukan termasuk golongan orang buta!

****
Hiduplah dimana kamu hidup
Dimana kebenaran menjadi persepsi pribadi

Pageviews

BisikanAlamRaya@2014. Diberdayakan oleh Blogger.