Selasa, 14 Januari 2014

"KLISE"



Buku itu tebal. Terselip di deretan buku-buku tebal psikologi. Sampulnya berwarna merah darah. Judulnya tertulis dengan tinta perak: Psychian Desk Reference. Dalam tubuh buku itu terdapat lubang kotak. Disana tersimpan pistol. Pistol yang menyemburkan darah ibu ke wajahku. Pistol yang disimpan ayah untuk melenyapkan ibu. Demi perempuan lain. Tapi ibu memilih melakukannya sendiri. Ia pergi bersama adikku yang masih berwujud janin. Kata ibu, kami bertiga akan bersatu di surga. Suatu saat aku harus melakukannya sendiri. Setiap kejadian ada tujuannya. Begitu kalimat terakhir dari ibu.

Pukul 12.30 tengah malam. Mimpi buruk. Selalu mimpi buruk yang sama. Seakan-akan baru saja ibu datang dan duduk tepat di samping tempat tidurku. Mengusap rambutku dengan jemarinya yang halus dan dingin. Persis seperti yang ia telah lakukan malam itu. Waktu itu aku sedang tidur. Ibu duduk di samping tempat tidurku dan membelai rambutku. Membangunkanku. Dengan sepucuk pistol berwarna perak di tangan kanannya yang mengarah tepat ke kepalanya, ibu berbicara tentang bapak dan perempuan itu. Ketika itu aku berusia tujuh tahun. Usia yang masih belum mengerti tentang arti pengkhianatan.

“Setiap kejadian ada tujuannya, Maya…”

Aku bangun dari tempat tidur dan menyandarkan tubuhku ke jendela ketika kusadari tubuhku basah dengan keringat. Entah karena suhu yang panas atau gejala keterkejutanku dengan mimpi barusan. Aku tidak ingin memikirkan itu. Aku membuka jendela untuk sekadar mempersilahkan angin membelai rambutku. Malam yang sunyi. Aku bisa melihat sudut-sudut kota yang angkuh dari sini, juga purnama itu. Oh, purnama yang indah. Purnama yang sama saat kali pertama aku mendapatimu di sudut taman kota. Aku jadi ingat dirimu. Ingat momen itu. Karenamu juga aku disini. Di rumah susun ini. Waktu itu, di kursi tua di depan danau, kau menatap langit. Saat itu bulan bersinar terang. Sangat terang. Hingga dapat memantulkan cahayanya ke wajahmu yang memancarkan pesona. Hari-hari berikutnya aku melihatmu lagi. Aku duduk di tempat favoritku. Dari situ begitu jelas untuk dapat memperhatikanmu. Kali ini kau memakai mantel coklat dan syal hitam. Beberapa larik kertas berada dalam genggamanmu. 

Tanpa aku sadar aku jatuh ke dalam daya tarikmu. Mengapa kita bertemu? Setiap kejadian ada tujuan. Tak kutahu di mana tujuannya. Maka kuikuti dan kujalani saja kemana alur waktu membawa. Hingga aku telah berdiam sendiri di samping kamar yang kau sewa di rumah susun. Dan kau datang padaku bersebab notasi Ave Maria. Kemudian aku mengenalmu sebagai seorang penulis. Namamu Edward. Kau tinggal sekamar bersama kekasihmu, Rolin. Kenyataan itu mengguncang hatiku.

***

Maya, gadis manis berparas cantik, yang tinggal tepat di sebelah dinding kamarku. Ia pintar bermain musik, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh gadis biasa. Memang, Maya bukanlah seorang gadis biasa. Kedatangannya membawa angin yang berbeda di rumah susun ini. Bukan cinta, bukan juga rindu, bukan juga keluguan parasnya yang nampak sekilas ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Entah apa.

Yang jelas semenjak kehadiran dirinya, kehidupan di rumah susun ini sudah berbalik, tidak akan pernah menjadi seperti semula. Dan yang pasti Maya bukan Rolin. Rolin telah berada di sini, di bilik kamar ini, jauh sebelum kehadiran Maya. Mungkin Maya lebih mengerti dan menginspirasi tentang semua tulisanku, tapi tetap saja ia tak bisa menggantikan Rolin. Rolin yang memberikanku sakit kepala, tetapi ketika  menghilang malah memberikan kekosongan di kamar 067. Ya kamar 067, dimana aku melepas gundah dan gelisah akan akhir dari tulisan-tulisanku bersama Rolin.

Pertemuan kami berawal satu minggu yang lalu. Waktu itu kau sedang bermain cello. Dari balik dinding kamar ini, alunan itu sangat jelas terdengar. Tepat di samping kamar ini. Nada klasik yang harmonis kadang rendah, kadang meninggi. Ave Maria, aku tak asing dengan lagu ini. Lagu favorit yang selalu menemani dalam setiap tulisanku. Aku tak tahan menahan nafsu untuk ikut mengiringinya. Kupetik gitarku, kuiringi sampai habis. Saat lagu itu berhenti, aku penasaran untuk mengetahui jemari siapa yang memainkannya. Maka kuhampiri kau ke kamarmu. Aku mengetuk pintu kamarmu. Kau membuka pintu.
Saat kau memunculkan wajah aku melemparkan senyum seramah mungkin. 

“Hai, musik yang indah, aku terkesan” 
“Terimakasih”
“Namaku Edward. Aku tinggal di sebelah kamarmu”
 “Salam kenal. Aku Maya, masuklah ke dalam”
Kau mengundangku masuk. Kita bercakap-cakap di ruang tamu. Saling mengakrabkan diri. Dalam 30 menit kita telah membicarakan banyak hal. 
Ave Maria. Aku menyukainya. Asal kau tahu, itu adalah lagu favoritku”
“Benarkah?”
“Ya, lagu yang sangat emosional. Lagu yang selalu menemaniku kala aku menulis”
“Oh, bagaimana bisa kita memiliki selera dan sejarah yang sama terhadap musik? Kau tahu, aku telah mempelajarinya sejak aku berusia 7 tahun”
“Oya, jadi kau adalah seorang musisi?”
“Tidak. Itu hanya sekadar hobi. Hobi yang diturunkan ibu kepadaku” 
“Apa ibumu yang mengajarimu bermain cello?”
“Ya, aku belajar padanya ketika aku berusia 7 tahun, tepat ketika aku di usia itu ia meninggal”
 “Oh maaf. Hmm, kenapa kau bisa pindah ke rumah susun ini?”
“Orangtuaku sudah lama meninggal. Sebelumnya aku tinggal bersama pamanku dan sekarang sudah saatnya aku tinggal sendiri”
“Sekarang ceritakan tentang dirimu. Tadi kau bilang bahwa kau sering menulis. Apakah kau seorang penulis?
“Ya, Aku seorang penulis. Itu sebabnya aku tinggal di rumah susun ini”
 “Kenapa?”
“Karena, kau tahu, temanku pernah berkata padaku, jika kau adalah seorang penulis, maka tinggallah di rumah susun. Kau akan menemukan banyak inspirasi di sana. Dan dia benar. Rumah susun menarik. Seperti sirkus. Penghuninya bermacam-macam dan aneh-aneh”
“Apa kau sudah dapat bahan cerita?”
“Bahan cerita? Seperti yang ku bilang tadi. Aku selalu menemukan banyak inspirasi di sini. Tetapi, aku selalu kesulitan membuat ending dari setiap cerita yang kutulis. Yah, mungkin karena aku menggunakan orang-orang di rumah susun ini sebagai tokoh-tokoh fiksi dalam cerita-ceritaku”  
“Kenapa kau tidak mengarang saja untuk mengakhiri cerita dalam tulisan-tulisanmu?”
“Klise. Saat aku mulai untuk mengakhiri tulisan-tulisanku. Semuanya berakhir klise. Sedangkan aku ingin itu berakhir alami. Sesuatu yang berbeda dari realita umum. Itu sebabnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan tulisanku”

***

Perempuan itu memang cantik. Dia benar-benar seorang gadis. Pakaiannya bagus-bagus, Kulitnya putih mulus, mana ada pria yang tak ingin mengelus. Melodi klasik yang sebelumnya belum pernah terdengar diantara lorong-lorong rumah susun, kini nyaring menggema dalam alunan sebuah cello. Alunan musik itu pula yang mengantarkan Edward kepadanya. 
Kini aku yakin Edward makin terpikat, melirik pakaiannya yang sewarna bunga violet. Dan aku terhempas ibarat hati yang terbuang. Sebab cintaku sedang cemburu. Ku perhatikan hubungan mereka semakin dekat. Aku ingin pergi saja.

***

Ya, kau penulis yang memilih tinggal di rumah susun. Katamu, rumah susun seperti sirkus. Penghuninya bermacam-macam dan aneh-aneh. Rumah susun selalu menarik. Itu menjadi bahan tulisanmu. Kau menjadikan kehidupan mereka sebagai cerita fiksi bagi tulisanmu. Tapi karena tokoh ceritamu masih hidup, kau tak tahu bagaimana mengakhirinya. Memang kau bisa saja mengarang akhir dari ceritamu. Tapi kau tak mau. Kau ingin plotnya alami. Mungkin itu bedanya fiksi dan realita. Fiksi ada akhir. Realita, kehidupan berjalan terus. 

Maka aku pun penasaran. Tanpa sepengetahuanmu aku menyalin naskah-naskah cerita yang sudah kau tulis itu. Dan aku tenggelam dalam ceritamu. Pikiran dan imajinasiku melompat-lompat. Kubaca naskah ceritamu. Cerita pertama. Tentang seorang seniman tua yang tinggal tepat di seberang kamarku. Dalam dunia nyata, ia tak pernah mau mengizinkan seorang pun untuk masuk ke dalam rumahnya. Dia tidak pernah mau bersosialisasi. Bertegur-sapa pun ala kadarnya. Konon, orang-orang di rumah susun ini mengatakan, dia menjadi agak gila setelah kematian istrinya. Dalam ceritamu, di dalam kamar seniman tua itu terdapat sebuah lukisan. Lukisan itu adalah penjelmaan istrinya. Dan karena lukisan itu adalah istrinya. Ia tak pernah mengizinkan orang lain untuk melihat lukisan itu, mengaguminya, dan menyentuhnya tanpa jarak. Cerita kedua. Merry, seorang wanita setia, hobinya mengoleksi bunga-bunga seantero dunia. Katanya dia akan memberikan bunga-bunga itu sebagai kejutan untuk suaminya ketika pulang nanti. Suaminya seorang pelaut yang selalu sibuk dan tak pernah sempat untuk mengunjunginya. Tapi wanita itu dengan setia tetap menunggu kedatangannya. Bahkan ia rajin menulis surat untuk suaminya. Sesekali ia mengecek kotak surat, barangkali ada balasan surat dari suaminya. Cerita terakhir tentang seorang perawan tua yang sudah berumur, Ny. Eliza namanya. Ia hidup bersama kucing-kucingnya. Tak pernah keluar kamar selain untuk berbelanja. Kabarnya dia masih perawan, dia gagal menikah, karena tunangannya mati dibunuh. Disamping mayatnya ada kucing. Lalu dianggaplah kucing itu penjelmaan tunangannya. Dan kucing-kucing itu adalah anak mereka.

Aku mulai mencintai tulisanmu, seperti hawa segar bagiku. Hawa segar yang mulai menghantui akan akhir dari semua ceritamu. Ku mainkan notasi sajak-sajak Ave Maria di sela-sela hujan yang sedikit lebat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Hah, rupanya seniman gila itu! Seniman gila yang dikatakan Edward dalam ceritanya. Ia datang memberiku sedikit apresiasi dengan kedua tangannya bertepuk. Kemudian ia menarik tanganku, membawaku ke rumahnya. Ia bercerita tentang mendiang istrinya yang memiliki hobi yang sama denganku. Katanya, istrinya gemar bermain cello, dan notasi yang kumainkan barusan mengingatkannya pada istrinya yang dulu selalu mengiringinya dengan bermain musik di kala ia melukis.

Ia memintaku untuk memainkan sebuah lagu kesukaannya dengan menggunakan cello istrinya. Ave Maria, ujarnya. Lalu suasana menjadi hening, biru dan membisu. Kemudian ia mengusap air matanyanya dengan kain lusuh. Kucal, dekil dan kumal, aku tak tahu apa lagi deskripsi yang tepat. Kemudian ia mengajakku ke sebuah ruang gelap, dimana tersimpan lukisan yang tertutup oleh kain sutra. 
Sreett…
Tampak lukisan perempuan berbaju merah darah terpatri di atas kanvas penuh debu. Cantik. Dia bilang aku mirip dengan istrinya. Itu sebabnya dia mengizinkan aku melihat lukisan itu. 

***

Pagi itu mendung, Awan menjadi kelabu. Serupa dengan kejadian yang ada  di rumah susun kala ini. Hans si seniman tua ditemukan gantung diri dikamarnya. Sebelum ditemukan meninggal, seseorang melihat sebuah lukisan terpaku di depan pintu kamar Hans. Sebuah lukisan bergambar perempuan cantik. Lukisan itu telah cacat akibat goresan di kanvasnya. Bingkainya patah. Dan ketika orang-orang membuka pintu Hans untuk memberitahunya, tampak ia telah meregang nyawa. Ada yang tidak beres dengan rumah susun ini. Semua terjadi tiba-tiba, apa motivasi dari semua ini? Dan ketika aku membicarakannya pada Edward, ia malah berkata,
“Diamlah Rolin! Aku telah mendapatkan inspirasiku kembali!”
Ya, sejak kejadian pagi itu kau malah menulis seharian. Begitu ada kejadian tragis kau langsung berpotensi. Kalau sudah menulis kau jadi autis. Aku jadi ingin pergi saja.

Tapi aku tidak benar-benar pergi. Aku tetap tinggal di sini. Mencoba untuk memperbaiki hubunganku dengan Edward. Seharusnya prioritasnya adalah dirinya, diriku, masa depannya, dan tentu saja masa depan kami. Setelah sebelumnya ia telah membawaku lari dari rumah orangtuaku. Bukan berarti aku membenci penulis. Tetapi aku membenci mengapa harus ia yang menjadi penulis. 
  
Aku membenci cerita-ceritanya, terlebih cerita tentang kami. Tetapi semakin aku membenci, semakin ia tenggelam dalam dunianya. Hingga suatu ketika teror-teror itu kembali terjadi, Merry, seorang wanita yang tinggal di lantai tiga ditemukan meninggal. Ia meninggal dengan memegang secarik kertas. Secarik kertas yang membuatnya meregang nyawa. Sebuah amplop tergeletak di atas meja, tepat di samping bunga violet kesukaannya. Di amplop itu tertera sebuah nama dengan huruf yang besar, sangat jelas, hingga semua orang dapat membacanya: Rolando Fabian. Suami Merry. Rolando mengabarkan bahwa ia telah berkeluarga di Spanyol. 

Tetapi kejadian itu tidak lebih mencurigakan dari pada pagi ini. Nyonya Eliza melompat dari lantai lima, dan berakhir tragis di lantai dasar. Orang-orang berkumpul. Semua panik. Mereka mengatakan, ada yang melihat kucing-kucing nya dimutilasi di tempat sampah. Sakit! Orang-orang di rumah susun ini sudah sakit. Aku mencurigai satu nama yang terlibat atas semua kejadian-kejadian ini. Aku ingin mengatakannya padamu, Edward. Tetapi ketika kutemui kau di kamar, kulihat kau sedang menulis. Menuangkan ide-ide dalam pikiranmu atas tragedi yang baru saja terjadi. Kau bersemangat , sangat bersemangat, bagaikan tiada lagi yang lebih bersemangat. Selanjutnya, aku benar-benar ingin pergi saja.

***

Ku mulai bergairah, nafsu ku membuncah. Kertas putih itu kini telah terisi dengan tinta pena hitam yang berserak di meja. Pena yang dulu ku pakai untuk menuliskan cerita-cerita yang tak tahu dimana akhirnya berada. Seperti yang ku katakan kepadamu, cerita ku fiksi, tapi ku mau plot nya mengalir alami, seperti aliran air yang kini menemukan laut untuk bernaung.

Satu persatu ku mulai merampungkan semua cerita-ceritaku. Tak tahan tuk segera memberitahukan berita bahagia ini kepadamu. Ku ketuk pintu kamarmu, tapi tak satupun ada yang menyeru, kulakukan hingga berulang. Tetap saja kesunyian yang kudapat. Tak sengaja pintumu terbuka. Ku bergegas masuk, namun tak kutemukan satupun tanda-tanda kehidupan, hanya secarik kertas yang tulisannya pun tak asing bagiku.

***

Semua cerita telah usai, Edward. Sekarang hanya kisah tentang kita yang tersisa. Aku melakukan semuanya karena perasaan yang kuat padamu, tapi aku tak tahu, entah apa itu.  Bukan cinta, bukan juga rindu. Aku terseret ke rumah susun ini, meninggalkan kemewahan orangtuaku, demi kamu. Sosok baru yang membiusku dengan asing. Padamu kuserahkan kesucianku. Akhirnya kau menemukan akhir dari kisah-kisahmu. Itu juga karena perasaanmu yang kuat pada Rolin. Maka kau layak bahagia dengannya. Aku sudah pergi menemui ibu dan adikku. Kami bahagia. Klise memang. Tapi semua yang terjadi ada tujuannya, dan semua cerita pun ada akhirnya.
Selamat Edward… Bukumu telah terbit!

Sincerely Love,
Maya



Sometimes people come into your life,
But you do not know that they were meant to be.
They teach you a lesson or serve some sort of purpose,
And figure out who you want to become.

You never know who these people may be,
Because so many stranger come and gone
Come and gone to your life that must go on.
But someday, you will ensure to realized on.

Everything happens for a reason.
Nothing happens by chance or mean of an event.
Happiness, injury, love, and lost are true seasons.
Do not question it, but let it flown

Every word has been composed
While story has been told
Do not be cold with your world
Because you will grow and getting old

Thanks To:
-Dasa Septi Angga
-Heri Eko
-Elly Nurmaili

0 komentar:

Posting Komentar

Pageviews

BisikanAlamRaya@2014. Diberdayakan oleh Blogger.